A. Hukum
Waris
Kewarisan sudah barang tentu membahas tentang
adanya kejadian penting dalam masyarakat tertentu, yaitu adanya seorang anggota
dari masyarakat/keluarga yang meninggal dunia. Seorang manusia selaku anggota
masyarakat, selama masih hidup, mempunyai tempat dalam masyarakat dengan
disertai pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban terhadap orang-orang anggota
lain dari masyarakat itu dan terhadap barang-barang yang berada dalam
masyarakat itu.
Hubungan-hubungan hukum itu sudah barang tentu
tidak lenyap seketika itu, oleh karena biasanya pihak yang ditinggalkan oleh
pihak yang wafat tersebut, tidak merupakan seorang manusia atau sebuah barang
saja, dan juga oleh karena hidupnya seorang manusia yang meninggal dunia itu,
berpengaruh langsung pada kepentingan-kepentingan beraneka warna dari pelbagai
anggota masyarakat, dan kepentingan-kepentingan ini, selama hidup seorang itu,
membutuhkan pemeliharaan dan penyelesaian oleh orang itu. Oleh karenanya timbul
apa yang dinamakan warisan, yaitu cara penyelesaian perhubungan-perhubungan
hukum dalam masyarakat yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat
dari wafatnya seorang manusia. Dapat dikatakan bahwa perhubungan-perhubungan
hukum yang berhubungan dengan wafatnya seseorang dibutuhkan diatur, adalah
hanya mengenai kekayaan seorang itu (vermogenrechtstelijk
betrekingen).
Maka dapat ditegaskan selaku pengertian warisan
ialah, bahwa warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak
dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seorang pada waktu ia meninggal dunia
akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
ALKITAB
Dalam Taurat Perjanjian Lama kaum Ahli Alkitab, didapatkan pada Kitab
Bilangan mengacu pada pemindahan kepemilikan mayit kepada ahli waris
dalam keluarga Israel. Hukum ini dalam Taurat bermula dari pengaduan
anak-anak perempuan Zelafehad kepada Nabiullah Musa alaihissalam semoga
shalawat dan salam tercurah kepada diri beliau, ketika mereka dapati
paman-paman mereka menguasai harta warisan ayah mereka sementara ayah
mereka tidak mempunyai anak lelaki.
Maka turunlah Firman Allah kepada Musa yang mengatur pembagian waris. Dimana didalamnya diatur bahwa anak perempuan tidak berhak mendapat warisan JIKA ADA anak lelaki.
Keberadaan anak lelaki menghalangi anak wanita mendapatkan harta waris
orang tuanya. Barulah ketiadaan anak lelaki memberikan hak bagi anak
perempuan. Berikut kisah dalam Taurat Bilangan 31.
Kemudian mendekatlah anak-anak perempuan Zelafehad bin Hefer bin
Gilead bin Makhir bin Manasye dari kaum Manasye bin Yusuf–nama
anak-anaknya itu adalah: Mahla, Noa, Hogla, Milka dan Tirza dan berdiri
di depan Musa dan imam Eleazar, dan di depan para pemimpin dan segenap
umat itu dekat pintu Kemah Pertemuan, serta berkata:
“Ayah kami telah mati di padang gurun, walaupun ia tidak termasuk ke dalam kumpulan yang bersepakat melawan TUHAN, ke dalam kumpulan Korah, tetapi ia telah mati karena dosanya sendiri, dan ia tidak mempunyai anak laki-laki. Mengapa nama ayah kami harus hapus dari tengah-tengah kaumnya, oleh karena ia tidak mempunyai anak laki-laki? Berilah kami tanah milik di antara saudara-saudara ayah kami.”
Lalu Musa menyampaikan perkara mereka itu ke hadapan TUHAN. Maka berfirmanlah TUHAN kepada Musa:
“Perkataan anak-anak perempuan Zelafehad itu benar; memang engkau harus memberikan tanah milik pusaka kepadanya di tengah-tengah saudara-saudara ayahnya; engkau harus memindahkan kepadanya hak atas milik pusaka ayahnya. Dan kepada orang Israel engkau harus berkata: Apabila seseorang mati dengan tidak mempunyai anak laki-laki, maka haruslah kamu memindahkan hak atas milik pusakanya kepada anaknya yang perempuan. Apabila ia tidak mempunyai anak perempuan, maka haruslah kamu memberikan milik pusakanya itu kepada saudara-saudaranya yang laki-laki. Dan apabila ia tidak mempunyai saudara-saudara lelaki, maka haruslah kamu memberikan milik pusakanya itu kepada saudara-saudara lelaki ayahnya. Dan apabila ayahnya tidak mempunyai saudara-saudara lelaki, maka haruslah kamu memberikan milik pusakanya itu kepada kerabatnya yang terdekat dari antara kaumnya, supaya dimilikinya.”
Itulah yang harus menjadi ketetapan hukum bagi orang Israel, seperti yang diperintahkan TUHAN kepada Musa.