Senin, 14 Maret 2016

Sejarah Kapur Barus

إِنَّ الْأَبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا

Dan orang-orang yang taat akan minum, dari gelas, sejenis minuman yang campurannya adalah kapur [barus] (QS 76: 5).

Minuman bercampur kapur barus? Al-Qur’an menggunakan kata kâfûr, yang secara harfiah berarti kapur barus. Dalam bahasa kita yang lebih populer sekarang berarti kamper. Apa enaknya minuman bercampur kamper? Salah satu jawabnya, kata Fakhrurrozi dalam kitab tafsirnya, kâfûr adalah nama mata air di sorga, yang airnya seputih, sewangi, dan sedingin kapur barus, tapi tidak rasa apalagi bahayanya. Kemungkinan tafsir yang lain, lanjut Fakhrurrozi, adalah bahwa mungkin saja Allah SWT menciptakan kapur barus di sorga namun rasanya lezat, dan Allah menghilangkan semua bahayanya.

Secara garis besar, seperti diuraikan juga misalnya oleh Thabari dan Mawardi dalam kitab tafsir mereka, para ulama menafsirkan kâfûr dalam dua pengertian. Pertama, nama mata air minuman orang-orang shaleh di sorga. Kedua, campuran minuman sewangi kapur barus. Dirumuskan dengan cara lain, kâfûr mungkin sebuah nama mata air di sorga, mungkin juga berarti kapur barus dalam pengertian metaforisnya. Kâfûr di sini jelas tak mungkin difahami secara harfiah. Dalam konteks ini, kâfûr atau kapur barus menunjuk pada sesuatu yang istimewa dan mewah. Ia adalah simbol keistimewaan dan kemewahan.

Untuk memahami keistimewaan dan kemewahan kapur barus, ada baiknya kita lihat sejarah kapur barus. Menurut para ahli, kapur barus atau kamper merupakan barang komuditas di sebagian besar dunia, dari Cina sampai kawasan Laut Tengah (meliputi Indocina, Asia Tenggara, India, Persia, Timur Tengah, bahkan Afrika). Hal itu berlangsung setidaknya sejak abad ke-4 M sampai abad ke-10 atau sesudahnya. Sumber tertua yang menyebutkan kamper berasal dari sebuah catatan seorang pedagang Cina awal abad ke-4 M, yang menelusuri jalur sutera. Di Barat, catatan tertua tentang kamper berasal dari tulisan seorang dokter Yunani yang tinggal di Mesopotamia, bernama Actius (502-578 M). Sementara itu, kronik Dinasti Liang (502-557) di Cina mengaitkan kamper dengan satu daerah yang nanti dikenal dengan Barus.

Asal-usul istilah kamper sendiri sulit dilacak. Para ahli berbeda pendapat soal ini. Sebagian berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari India; sebagian yang lain berpendapat bahwa istilah kamper berasal dari rumpun bahasa Austronesia. Namun yang tampaknya lebih masuk akal adalah kesimpulan Claude Guillot dkk. (2009), seorang sarjana Prancis yang pernah melakukan penelitian arkeologis di Barus. Menurut mereka, istilah kapur atau kamper berasal dari “Asia Selatan atau Asis Tenggara, kemungkinan besar dari Asia Tenggara karena lebih dekat dari sumber-sumber produksinya.”

Ada tiga daerah utama penghasil kamper di Asia Tenggara, yaitu Sumatera, Semenanjung Melayu, dan Borneo. Daerah di Sumatera yang sering disebut-sebut dalam berbagai sumber tertulis sejak abad pertama Masehi adalah Barus, suatu daerah di pantai barat Sumatera, terletak antara Sibolga dan Singkel, yang sekarang masuk wilayah Sumatera Utara. Tetapi, dalam sejarahnya yang panjang selama berabad-abad, barangkali Barus tidak hanya menunjuk pada daerah Barus yang kita kenal dewasa ini. Barangkali dulunya ia adalah satu daerah di sekitar Aceh atau daerah utara Sumatera. Yang pasti, Barus adalah satu daerah di bagian utara Sumatera, yang sangat terkenal di dunia internasional sejak berabad-abad lalu sebagai tempat penghasil kamper atau kapur. Sejak abad ke-6, orang Cina sudah menghubungkan kamper dengan Barus sebagai penghasil kamper itu sendiri. Tidak mengherankan kalau sampai sekarang kita mengenal istilah kapur barus, yang berarti kamper dari Barus.

Catatan tertua tentang Barus ditulis oleh Ptolomaeos, seorang filsur Alexandria abad pertama M. Jika benar bahwa Barus yang disebut Ptolomaeos adalah daerah penghasil kapur atau kamper, bisa dipastikan bahwa kapur (dari) Barus sudah dikenal setidaknya sejak abad pertama M, bahkan di Afrika sana. Bahkan mungkin pada abad-abad sebelumnya. Diduga, kamper adalah salah satu bahan (kimia?) untuk memumikan jenazah para fir’aun di Mesir. Jika ini benar, kapur barus tentu saja merupakan barang yang sangat berharga.

Terutama dari tulisan para ilmuwan Arab (Muslim) abad ke-8-9 M, diketahui bahwa kapur digunakan juga untuk obat-obatan dan wewangian. Ibnu Sina, misalnya, menguraikan secara rinci tentang bagaimana kapur barus digunakan sebagai obat dan wewangian, lengkap dengan cara menyuling kapur barus itu sendiri (Claude Guillot dkk., 2000). Uraian para ilmuwan Muslim ini tentu saja menunjukkan arti penting dan kegunaan kapur barus, yang membuatnya jadi barang komoditas paling dicari di dunia pada masa itu.

Tampaknya kapur barus inilah salah satu hal yang menarik para pedagang dari berbagai belahan dunia datang ke Barus. Yaitu saudagar dari Cina, India, Parsi, Arab, Turki, dan Eropa. Seiring dengan kemajuan sarana transportasi khususnya transportasi laut, stidaknya sejak abad ke-7 di sini sudah terbentuk komunitas Arab, juga Cina dan India, sebagai daerah-daerah yang dilalui jalur perdagangan internasional. Semuanya berburu kapur barus —di samping barang komoditas lain seperti emas dan lada— sebagai komoditas yang sangat mahal dan sangat dibutuhkan oleh pasar dunia.

Kalau kapur barus diproduksi khususnya di Barus dan umumnya di Asia Tenggara, tentulah ia merupakan barang komuditas yang amat mahal di dunia. Sebab bagi Cina, Indocina, India, Persia, Timur Tengah, dan Afrika, komoditas tersebut merupakan barang impor. Apalagi, kapur barus merupakan bahan obat-obatan dan wewangian. Bisa dipastikan, hanya para pembesar dan orang-orang kaya yang dapat memanfaatkannya, baik untuk penyembuhan maupun sekadar untuk wewangian. Permintaan pasar dunia pun terhadap kapur barus tampaknya sangat tinggi.

Sampai di sini kiranya kita bisa mengerti, bahwa kapur barus merupakan barang mewah dan istimewa di dunia setidaknya sejak abad ke-4 hingga setidaknya lima abad berikutnya. Dan dalam konteks itu kita bisa memahami kenapa kapur barus merupakan simbol keistimewaan dan kemewahan. Tampaknya, ketika Al-Qur’an turun pada abad ke-7, kapur (barus) merupakan barang mewah di Timur Tengah. Tidaklah mengherankan kalau Al-Qur’an menggunakan istilah (kâfûr) tersebut untuk menggambarkan keistimewaan dan kemewahan minuman orang-orang shaleh di akhirat. Di sini, Al-Qur’an tidak menggunakan istilah kâfûr dalam kegunaan praktisnya, melainkan dalam nilai simboliknya. Al-Qur’an menarik istilah kâfûr dari pengertiannya yang konkret ke pengertiannya yang abstrak; dari dimensi duniawi ke dimensi rohani.

Berkat kapur inilah, Barus jadi daerah terkenal, setidaknya sejak abad ke-4 dan terutama pada abad ke-7. Barus bahkan tetap terkenal hinggga beberapa abad kemudian ketika daerah itu merosot sebagai pusat niaga dunia, dan mungkin merosot pula sebagai daerah penghasil kapur. Di akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, ketika Barus mengalami kemunduran sebagai pusat niaga dunia, dan tampaknya kapur bukan lagi salah satu komuditas utama dunia, pujangga Hamzah Fansuri menyebut-nyebut kapur dan barus dalam beberapa syairnya, misalnya:

Hamzah Fansuri di dalam Makkah
Mencari Tuhan di Bayt al-Ka’bah
Dari Barus ke Qudus terlalu payah
Akhirnya dapat di dalam rumah


Hamzah Syahr Nawi terlalu hapus
Seperti kayu sekalian hangus
Asalnya laut tiada berharus
Menjadi kapur di dalam Barus.

Akhirnya, mengikuti Guillot, istilah kapur tampaknya berasal dari daerah penghasil kapur barus itu sendiri, yaitu Asia Tenggara. Jika kita setuju dengan Guillot, dan setuju pula bahwa Barus merupakan salah satu daerah penghasil kapur yang sangat terkenal di dunia sejak sebelum Al-Qur’an diturunkan di abad ke-7, kita bisa mengatakan: kapur (barus), inilah kosa kata kita yang diserap dan digunakan oleh Al-Qur’an. Wallâhu a`lamu bisshawâb.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar