Sabtu, 16 Januari 2016

Kerancuan filsafat

Al-Ghazali tidak hanya menyerang pandangan filsafat dengan dasar argumentasi akan tetapi menggunakan kata-kata yang sarkastis bahkan  mengkafirkan para filosof yang menurut sebagian pengkaji filsafat dianggap terlalu berlebihan.

Sulayman al-Dunya[1] menyebut bahwa masa ditulisnya Tahafut al-Falasifah adalah masa-masa kegalauan dan ketidak percayaan al-Ghazali pada banyak disiplin ilmu Islam. Ibn Rushd, 90 tahun kemudian sejak ditulis Tahafut al-Falasifah menulis jawaban dengan judul Tahafut al-Tahafut, sayangnya jawaban ini sedikit terlambat kehadirannya sehingga dianggap tidak mengatasi pengaruh yang telah dihasilkan Tahafut al-Falasifah. Namun demikian kedua karya tersebut menempati ruang tersendiri dalam sejarah pemikiran Islam dan menjadi kajian para peneliti sampai saat ini.

Dalam tulisan ini akan fokus membahas tahafut falasifah karya Imam al-Ghazali. Kitab ini terdiri atas empat mukaddimah[2], 20 masalah dan khatimah. Mukaddimah pertama ialah bahwa Aristoteles telah merupakan seorang pemuka dalam filsafat, menyimpulkan pemikiran-pemikiran para filosof dan karena itu perlu menyanggahnya.

Kedua beberapa pemikiran filosof tidak bertentangan dengan agama karena merupakan pendapat tentang fisika seperti pembahasan tentang gerhana matahari dan bulan yang dalam dirinya tidak mengandung celaan dan pujian. Namun ada pemikiran lain yang berkaitan dengan dasar-dasar agama, seperti mengatakan alam ini kadim yang tentunya tidak boleh didiamkan.

Ketiga, yang dimaksudkan dengan kitab ini menjelaskan keruntuhan (tahafut) para filosof, yaitu menyanggah pemikiran mereka. Sedangkan penjelasan tentang akidah yang benar disebutkan dalam kitab-kitab lain.

Keempat, walaupun para filosof mempergunakan matematika dan logika sebagai metoda berpikir, maka itu tidaklah perlu bagi teologi, walaupun keabsahan matematika tidak dapat diingkari. Adapun logika, maka itu alat berpikir yang dipergunakan oleh para filosof seperti yang dipergunakan oleh insan lainnya. Logika itu bukanlah suatu ilmu yang terasing dalam kalangan umat Islam dan mereka menyebutnya ilmu penalaran (nazar) atau ilmu debat (jadal) atau pengetahuan akal (madarik al-‘uqul).

  1. Biografi Imam Al-Ghazali

Sebelum menguraikan lebih jauh tentang biografi al-Ghazali, perlu diketahui bahwa kehidupan Imam al-Ghazali dibagi 3 (tiga) fase kehidupan yaitu Fase pra-keraguan, fase terjadinya keraguan, dan fase mendapat petunjuk dan ketenangan. Fase pertama, pra-keraguan. Fase ini al-Ghazali masih seorang pelajar yang belum mencapai tarap kematangan intelektual, yang mempersiapkan diri untuk menjadi seorang yang memiliki pendapat independen.

Fase kedua, fase terjadinya keraguan, baik keraguan yang keras maupun yang ringan. Fase ini terjadi dalam rentang waktu yang cukup lama, yang berawal sejak usia muda sampai al-Ghazali memasuki dunia tasauf dan memperoleh hidayah Allah. Di tengah fase ini al-Ghazali menulis karya-karyanya dalam ilmu kalam, kritik terhadap filsafat dan aliran bathiniyah. Pada saat itu ia mengajar di dua sekolah yaitu, Naisabur dan Baghdad. Pada fase ini al-Ghazali juga menulis tentang tahafut al-falasifah yang beliau katakan sebagai sarana mendustakan mazhab para filosof. Sedangkan untuk mengafirmasi mazhab yang benar beliau menyatakan setelah selesai penyusunan kitab tahafut ini beliau dengan maunah Allah (pen. berjanji) akan menyusun kitab dengan tema Qowaid al-aQaid[3] (prinsip-prinsip keyakinan).

Fase ketiga, yaitu fase dimana al-Ghazali telah mendapat petunjuk pada pandangan ketersingkapan tabir sufistik (al-kasyf ash-shufiyah). Fase ini adalah fase yang memungkinkan untuk menjadikan karya-karyanya sebagai rujukan untuk menggambarkan mazhab yang benar versi al-Ghazali. Tetapi tidak semua karyanya pada fase ini layak untuk hal tersebut, karena pada fase ini al-Ghazali juga hadir dengan karyanya dalam pengertian mazhab yang lain.

Berikutnya terkait biografi Al-Ghazali, nama lengkapnya adalah Al-Ghazali Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali, yang terkenal dengan gelar hujjatul Islam. Beliau lahir tahun 450 H, bertepatan dengan 1059 M di Ghazalah, suatu kota kecil yang terlelak di Thus wilayah Khurasan Iran[4].

Perjalanan al-Ghazali dalam memulai pendidikannya di wilayah kelahirannya. Kepada ayahnya beliau belajar Al-qur’an dan dasar-dasar ilmu keagamaan lainnya, selanjutnya mempelajari dasar-dasar pengetahuan lainnya di Thus.

Santunan kehidupan sebagaimana lazimnya waktu beliau untuk belajar fiqh pada Imam Kharamain,  al-Ghazali mempelajari beragam mazhab– dan ikhtilaf yang terjadi diantaranya perbedaan pendapat), mantik, hikmah, dan falsafah.

Setelah Imam Kharamain wafat, beliau pergi ke Baghdad dan mengajar di Nizhamiyah. Beliau mengarang kitab al-basith, al-wasith, al-wajiz, dan al-khulashah. Dalam ushul fiqih beliau mengarang kitab al-mustasfa, al-mankhul, bidayatul hidayah, dan kitab-kitab lain dalam berbagai bidang.

Antara tahun 465-470 H. al-Ghazali belajar fiqih dan ilmu-ilmu dasar yang lain dari Ahmad Al-Radzaski di Thus, dan Abu Nasral Ismaili di Jurjan. Setelah al-Ghazali kembali ke Thus, dan selama 3 tahun di tempat kelahirannya, beliau mengaji ulang pelajaran di Jurjan sambil belajar tasawuf  kepada Yusuf Al Nassai (w-487 H). Pada tahun itu al-Ghazali berkenalan dengan al-Juwaini dan memperoleh ilmu kalam dan mantiq.

Walaupun kemashuran telah diraihnya, al-Ghazali tetap setia terhadap gurunya sampai wafatnya pada tahun 478 H. Sebelum al Juwani wafat, beliau memperkenalkan Imam al-Ghazali kepada Nidzham Al-Mulk, perdana menteri sultan Saljuk Malik Syah. Nidzham adalah pendiri madrasah al-Nidzhamiyah. Di Naisabur ini imam al Ghazali sempat belajar tasawuf kepada Abu Ali Al-Faldl Ibn Muhammad Ibn Ali Al- Farmadi (w.477 H/1084 M).

Setelah gurunya wafat, al Ghazali meninggalkan Naisabur menuju negeri Askar untuk berjumpa dengan Nidzham al Mulk. Di daerah ini beliau mendapat kehormatan untuk berdebat dengan ‘ulama. Dari perdebatan yang dimenangkannya, namanya semakin populer dan disegani karena keluasan ilmunya. Pada tahun 484 H/1091 M, al Ghazali diangkat menjadi guru besar di madrasah Nidzhamiyah, ini dijelaskan dalam bukunya al Munkid min al-Dhalal. Selama mengajar di madrasah, al- Ghazali mendalami filsafat secara otodidak, terutama pemikiran al- Farabi, Ibn Sina, Ibn Miskawih dan Ikhwan Al Shafa. Untuk membuktikan kemampuannya dalam bidang filsafat, al-Ghazali menulis karya Muqaddimah Tahafut al-Falasifah al-Musamma Maqashid al-Falasifah”.

Pada tahun 488 H/1095 M, imam al Ghazali dilanda keraguan terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (hukum teologi dan filsafat). Keraguan terhadap pekerjaan dan karya-karya yang dihasilkannya, menyebabkan ia menderita penyakit selama dua bulan dan sulit diobati. Karena itu, al Ghazali tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai guru besar di Madrasah Nidzamiyah, yang akhirnya beliau meninggalkan Baghdad menuju kota Damaskus. Selama kira-kira dua tahun di Damaskus, al Ghazali melakukan uzlah, riyadhah, dan mujahadah. Kemudian beliau pindah ke Bayt al-Maqdis Palestina untuk melakukan hal serupa,  untuk kemudian tergerak hatinya menunaikan ibadah haji dan menziarahi maqam Rosulullah Saw.

Sepulang dari tanah suci, al-Ghazali mengunjungi kota kelahirannya Thus, di sinilah beliau tetap berkhalwat dalam keadaan skeptis, berlangsung selama 10 tahun. Pada periode itulah beliau menulis karyanya yang terkenal Ihya’ al-Ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu agama). Kemudian beliau mendirikan madrasah bagi para fuqaha dan Zawiyah–Khanaqoh untuk para Sufi. Di kota inilah beliau wafat pada tahun 505 H /1 Desember 1111 M.

Abul Fajar al-Jauzi dalam kitabnya al-‘Asabah ‘inda Amanah mengatakan, Ahmad saudaranya al Ghazali berkata pada waktu shubuh, Al-Ghazali berwudhu dan melakukan sholat, kemudian beliau berkata: “ambillah kain kafan untukku,”  kemudian ia mengambil dan menciumnya lalu meletakkan di atas kedua matanya sambil berkata, ” Aku mendengar dan taat untuk menemui Al-Malik kemudian menjulurkan kakinya dan menghadap kiblat. al Ghazali yang bergelar hujjatul islam itu meninggal dunia menjelang matahari terbit di kota kelahirannya Thus (Mashad-Iran sekarang) pada hari senin 14 Jumadil Akhir 505 H (1111 M). Imam al Ghazali dimakamkan di Zhahir al Tabiran, ibu kota Thus.

  1. Pemikiran Imam Al-Ghazali dalam Kitab Tahafut al-Falasifah

Dari segi bahasa, Tahafut berarti keguguran dan kelemahan. Orang mengatakan, tahafata’ts-tsaubu, artinya : kain jatuh dan rusak. Yang dimaksudkan ialah bahwa para filosof telah jatuh mati akibat tikaman maut yang diarahkan oleh al-Ghazali terhadap pemikiran mereka. Pada hakikatnya, tikaman itu mamang mematikan, mengenai inti masalah sehingga ilmu filsafat tidak lagi muncul sesudah itu (di dunia Islam), kendatipun adanya upaya mati-matian dari Ibn Rusyd untuk mempertahankannya

Al-Ghazali menulis buku Tahafutnya ketika ia sedang dalam fase skeptis ringan (asy-syakk al-khafif), yaitu ketika ia belum mendapat petunjuk pada hakekat kebenaran. Ini menuntut tidak adanya pengakuan atas tahafut sebagai salah satu sumber yang dapat dijadikan rujukan tentang ide dan orientasi pemikiran al-Ghazali.

Al-Ghazali sendiri membagi seluruh karyanya menjadi dua. Pertama, kelompok karya yang ia istilahkan “yang terlarang bagi selain yang berkompeten” (al-madhnun biha ala ghairi ahliha). Kedua, karya-karya yang disajikan untuk konsumsi masyarakat umum (jumhur). Ia adalah kelompok karya yang memang diperuntukkan bagi masyarakat yang sesuai dengan tingkat intelektualitasnya. Kemudian ia menyebut tahafut termasuk kelompok kedua.

Tahafut al-falasifah adalah kitab yang disusun oleh al-Ghazali saat ia menjabat di Madrasah an-Nidhomiyah Bagdad. Isi dari tahafut al-falasifah adalah sanggahan-sanggahan al-Ghazali pada hasil pemikiran filsafat Yunani yang dibawa oleh Ibnu sina dan Ibnu Arabi’

Terdapat 20 perkara pemikiran filsafat yang dikritik dan coba diruntuhkan oleh al-Ghozali. Dalam 20 persoalan tersebut terdapat 3 persoalan yang oleh al-Ghazali yang dibantah logikanya dan dibantah hasil pemikirannya serta dikafirkan jika mempercayainya, yaitu keqodiman Alam, Allah tidak mengetahui partikularia-partikularia dan pengingkaran filosof akan kebangkitan jasmani di hari akhir. Sedang 17 persoalan sisa adalah persoalan-persoalan yang dibantah logikanya tapi belum tentu substansinya.

Sebenarnya logika al-Ghazali dalam mengemukakan pendapatnya bukanlah hal yang asing bagi kita, karena para ilmu kalam abad pertengahan yang diajarkan di pesantren juga menggunakannya dalam menjelaskan persoalan ilmu tauhid.

Berikut ini akan diuraikan secara ringkas garis besar kandungan kitab Tahafut al-Falasifah yang membongkar tabir kerancuan para filosof karya Imam al-Ghazali.

  1. Sanggahan atas pandangan para filosof tentang ke azalian (eternitas) Alam

Dalam bahasan pertama tentang berbagai sanggahan terhadap filosof, yang diuraikan dalam bentuk tulisan dialog dapat disimpulkan meliputi empat bahasan yaitu, qadimnya alam, keabadian alam dan zaman, Allah Pencipta dan Pembuat Alam, dan ketidakmampuan membuktikan adanya pembuat alam. Disini al-Ghazali menyanggah teori emanasi Ibnu Sina. Bagi al-Ghazali Alam adalah sesuatu yang baru (hudust) dan bermula dan yang qodim hanyalah satu yaitu Allah[5].

  1. Sanggahan terhadap teori keabadian (abadiyah) Alam, masa dan ruang.

Seperti yang kita tahu dalam filsafat; benda (materi), masa (waktu) dan ruang adalah timbul pada saat bersamaan dengan materi, masa adalah ukuran jarak waktu dari materi dan ruang adalah dimana materi berada. Bagi filosof benda (materi) itu abadi (mungkin sama dengan keabadian energi dalam fisika). al-Ghazali membantah keniscayaan tersebut, baginya jika Allah berkehendak untuk menghancurkan Alam dan meniadakannya (I’dam) maka hancurlah Alam ini dan tiada pulalah ia[6].

  1. Kerancuan para filosof dalam menjelaskan bahwa Tuhan adalah pencipta alam dan alam adalah ciptaannya, dan keterangan bahwa hal tersebut adalah majaz (perumpamaan) dan bukan hakikatnya

Disini kritik al-Ghazali lebih pada pendapat filosuf yang mengatakan bahwa Allah tidak bersifat. Dan jika Allah adalah pencipta seperti apa yang kita ketahui selama ini, maka pencipta haruslah berkehendak terlebih (murid) dahulu, yang memilih (mukhtar), dan mengetahui dengan apa yang dikehendakinya. Sehingga Tuhan menjadi Fa’il(Pelaku) akan apa yang dikehendaki-Nya. Dan bagi para Filosuf Tuhan tiadalah dzat yang berkehendak (murid) karena kehendak adalah sifat sedangkan Tuhan adalah dzat yang suci dari segala sifat. Dan sesuatu yang timbul dari-Nya adalah sesuatu kosekwensi yang mesti (luzum dlaruri).

Hal kedua bagi filosof yang tidak mungkin terjadi karena alam adalah qodim adapun fi’il (perbuatan) adalah baru (hadist). Ketiga, Tuhan satu dan tidak timbul darinya kecuali yang satu dan alam murakkab (berjumlah/bersusun) dari banyak segi. Maka menurut para filosuf bagaimana mungkin sesuatu yang murakkab dapat timbul dari sesuatu yang satu?. Dan al-Ghazali menolak ketiga hal di atas[7].

  1. Ketidakmampuan Filosof untuk membuktikan ada (wujud)-Nya pencipta alam.

Disini al-Ghazali mempertanyakan tesa yang menyatakan bahwa Alam qodim, tapi ia diciptakan. Dan bagi al-Ghazali ini adalah perpaduan pendapat antara ahlu al-haq yang menyatakan alam adalah hadist, dan yang hadist pasti ada penciptanya dan kaum Atheis (Dahriyah) yang menyatakan bahwa Alam adalah qodim maka ia tidak membutuhkan pencipta. Bagi al-Ghazali pendapat para filosuf tersebut secara otomatis batal[8].

  1. Kelemahan para filosof dalam mengemukakan dalil (rasional) bahwa Tuhan adalah satu dan kemustahilan adanya dua Tuhan, wajib al-wujud, yang masing-masing tiada illat (sebab).

Al-Ghazali menantang segala hal dalam pembuktian para filosuf tersebut. Bagi al-Ghazali yang ditolak adalah logika-logika yang dipakai dan bukan pada subtansi persoalan[9].

  1. Sanggahan tentang tiadanya sifat bagi Tuhan.

Bagi para filosuf, Tuhan harus dibersihkan dari segala berkehitungan (muta’addidah), termasuk segala sifat yang oleh kaum asy-‘Ariyah selama ini dilekatkan pada Tuhan. Jika sifat ada bersamaan dengan Tuhan maka ada saling ketergantungan antar keduanya, dualisme Tuhan adalah hal yang mustahil, apalagi jika ditambah dengan dengan af’al.

Al-Ghazali menolak argument ini, dan menyatakan kelemahan pendapat para filosuf tentang ketiadaan sifat Tuhan. Bagi al-Ghazali hal ini ditolak karena sifat adalah hal yang niscaya ada pada dzat tapi bukan berarti ia menjadi sesuatu yang lain dari dzat[10].

  1. Sanggahan terhadap teori bahwa dzat Tuhan mustahil didefinisikan.

Para Filosuf berpendapat definisi itu mengandung dua aspek; jins (genus) dan fashl (diferensia), dan Tuhan adalah dzat yang tidak mungkin ber-musyarakah dalam jins dan ia tidak dibagi dalam fashl. Keduanya adalah komposisi dan Tuhan mustahil berkomposisi. Bagi al-Ghazali bisa saja komposisi “bagian-bagian” itu terjadi dari segi definitive. Hal ini karena al-Ghazali menerima adanya sifat-sifat bagi Tuhan[11].

  1. Batalnya pendapat Filosuf: Wujud Tuhan sederhana, maksudnya wujud Tuhan adalah wujud yang murni, bukan mahiyah (hakikat sesuatu-al-kautsar) dan bukan hakikat yang wujud Tuhan disandarkan padanya. Tapi wujud al-wajib seprti mahiyah bagi yang lainnya.

Al-Ghazali menyangkal semua analogi folosuf baik tentang mahiyah, hakikat, dan wujud al-wajib yang menurut al-Ghazali mengulangi kerancuan yang sama. Al-Ghazali mempertanyakan segala metode yang dipakai dalam menelurkan pemikiran tersebut dan menganggapnya sebagisuatu kesalahan para filosuf[12].

  1. Ketidakmampuan filosof untuk membuktikan, dengan argumen rasional bahwa Tuhan bukan tubuh (jism).

Hal ini berangkat dari adanya tubuh eternal (jism qodim) yang diterima oleh kalangan Filosuf. Hal ini bagi al-Ghazali adalah hal yang rancu karena jism adalah hadist karena ia tersusun dari diferensia (fashl-fashl). Jika Filosuf mengelak dengan mengatakan bahwa wajib al-Wujud adalah satu jadi ia tidak dapat dibagi-bagi seperti yang lainnya. Hal ini pun menurut al-Ghazali adalah logika yang dipaksakan karena hal iu berangkat dari persepsi tentang kemustahilan komposisi (tarkib), dan penolakan terhadap komposisi didasarkan pada penolakan terhadap mahiyah (kuiditas-terj)[13].

  1. Ketidakmampuan Filosof untuk membuktikan melalui dalil rasional, adanya sebab atau pencipta alam.

Hal ini bagi al-Ghazali masih berupa kerancuan para Filosuf yang mempertahankan pendapat tentang ke qodim an Alam tapi ia diciptakan. Menurut al-Ghazali mengapa mereka tidak berkata seperti kaum Atheis saja yang mengatakan Alam itu qodim dan tiada memerlukan pencipta, karena suatu sebab hanya diperlukan bagi hal yang bermula di dalam waktu (hadist)[14].

  1. Kelemahan pendapat para filsuf yang mengatakan bahwa Tuhan mengetahui yang lainnya dan bahwa Dia mengetahui Species (al-anwa) dan Genera (jins) secara universal (bi naui kulliat).

Para filsuf mengatakan bahwa Tuhan mengetahui al-Anwa dan al-Jins secara kulliat karena emanasi yang terjadi padanya hanya secara universal bukan individu-individu atau pribadi-pribadi.

Akan tetapi al-Ghazali memberikan sanggahan bahwa Tuhan menciptakan alam dengan kehendaknya, maka alam menjadi objek kehendak, sangat mustahil objek kehendak tidak diketahui oleh yang berkehendak[15].

  1. Ketidakmampuan para filosuf untuk membuktikan bahwa Tuhan juga mengetahui Dirinya sendiri.

Persoalan ini berpangkal pada pendapat para filsuf yang mengatakan bahwa alam beremanasi secara alami, bukan atas kehendak, seperti emanasi sinar matahari dari matahari.

Sanggahan yang diberikan oleh al-Ghazali adalah apabila sesuatu yang beremanasi dari Tuhan mengetahui dirinya sendiri bagaimana mungkin Tuhan sebagai asal emanasi tidak mengetahui diri-Nya sendiri, karena Tuhan menyadari akan adanya emanasi tersebut, sesuai dengan yang dikehendaki-Nya[16].

  1. Gugurnya pendapat para Filosuf bahwa Tuhan tidak mengetahui Partikularia-partikularia yang dapat dibagi-bagi sesuai dengan pembagian waktu ke dalam “telah”, “sedang” dan “akan”.

Pendapat para filsuf bahwa pengetahuan mengikuti objek pengetahuan, apabila objek berubah, maka pengetahuan juga berubah, apabila pengetahuan berubah maka subjek pun juga berubah. Perubahan yang terjadi pada suatu benda akan menyebabkan pengetahuan atas benda itu juga berubah demikian juga subjek yang mengetahui perubahan itu. Akan tetapi, mustahil Tuhan berubah karenanya Ia tidak mengetahui perubahan-perubahan sesuatu yang terjadi dalam waktu.

Tak sesuatupun yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya, tetapi pengetahuan-Nya tentang hal tersebut tetap sama, baik sebelum terjadinya suatu perubahan, sedang terjadi maupun setelah terjadinya. Inilah argumen al-Ghazali mengenai hal itu.

Ditambahkan oleh al-Ghazali bahwa pendapat para filsuf mengenai hal ini bertentangan dengan pendapat mereka sebelumnya yang mengatakan bahwa alam qadim, sesuatu yang qadim tidak dapat berubah. Mengapa ia berubah? Maka para filsuf harus mengubah pendapatnya mengenai keqadiman alam[17].

  1. Ketidakmampuan para filosuf untuk membuktikan bahwa langit adalah makhluk hidup (hayawan), dan mematuhi Tuhan melalui geraknya.

Langit adalah makhluk hidup dan mempunyai suatu jiwa yang berhubungan dengan tubuh langit sebagaimana jiwa kita berhubungan dengan tubuh kita. Ini dibuktikan dengan adanya gerak langit. Gerak langit bukanlah gerakan alami[18],bukan pula gerakan terpaksa (digerakkan oleh “yang lain”) akan tetapi gerakan volisional[19] (irady wa nafsany).

Mengenai ungkapan ini, al-Ghazali menyatakan bahwa langit bukanlah makhluk hidup, karena Gerakan langit adalah gerakan “paksaan”[20] dan kehendak tuhan sebagai prinsipnya[21].

  1. Sanggahan terhadap yang filosuf sebut tujuan yang menggerakkan langit.

Gerakan langit menurut para filsuf bertujuan untuk taqarrub (mendekatkan diri) pada Allah. Pengertian yang dimaksud adalah mendekatkan diri dalam hal sifat-sifat bukan dalam hal ruang, sebagaimana kedekatan malaikat pada-Nya, karena ada-Nya sebagai wujud yang sempurna berbeda dengan bertentangan dengan segala sesuatu yang tidak sempurna. Dan malaikat-malaikat yang dekat (al-muqarrabun) adalah sesuatu yang mendekati kesempurnaan-Nya. Kesempurnaan langit didapat melalui penyerupaan (tasyabbuh) dengan Prinsip Pertama melalui ; penempatan yang sempurna dalam semua posisi yang mungkin baginya.

Sanggahan yang diberikan oleh al-Ghazali seperti yang diungkapkannya pada persoalan sebelumnya (14). Ia menambahkan, bahwa gerakan langit tidak menunjukkan bahwa mereka (langit) bertujuan untuk mendekati kesempurnaan dalam artian kesempurnaan Tuhan, karena tidak ada bedanya antara posisi mereka di suatu tempat dan ditempat yang lain yang menunjukkan kesempurnaan. Semuanya hanya perpindahan posisi saja[22].

  1. Kelemahan teori para filsuf bahwa jiwa-jiwa langit mengetahui semua partikularia-partikularia yang bermula (al-juziyyat al-haditsah) didalam alam ini.

Persoalan ini bermula ketika para filsuf mengatakan bahwa malaikat langit adalah jiwa-jiwa langit, yang menjadi perantara Tuhan dalam mengisi al-lawh al mahfudl. Sanggahan yang diungkapkan oleh al-Ghazali kemudian adalah bagaimana mungkin sebuah makhluk dapat mempunyai pengetahuan tentang partikularia-partikularia (juz’iyyat) yang tak terbatas.

Ditambahkan oleh al-Ghazali hal yang paling kacau adalah pernyataan para filsuf bahwa apabila falak mempunyai gerakan-gerakan partikular, maka ia juga mempunyai representasi subordinat-subordinat dan konsekuensi-konsekuensi dari gerakan partikular itu.

Seperti seorang manusia yang bergerak mesti mengetahui gerakan-gerakannya dan konsekuensi atas gerakannya dalam hubungannya dengan tubuh-tubuh yang lain atau makhluk-makhluk yang lain dan itu tidak mungkin[23].

  1. Sanggahan terhadap para Filosuf akan kemustahilan Perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa.

Menurut al-Ghazali, hubungan yang dipeercaya sebagai sebab dan akibat adalah tidak wajib. Semua hubungan sebab dan akibat terjadi karena memang Tuhan telah menciptakannya demikian adanya. Seperti, Dia kuasa menciptakan kekenyangan tanpa makan, seperti contoh ketika Ibrahim tidak terbakar api. Hal itu tidak mungkin terjadi kecuali meniadakan panas dari api atau Tuhan telah menciptakan suatu sifat tertentu yang dapat mencegah timbulnya sebuah akibat dari suatu sebab[24].

  1. Tentang ketidakmampuan para Filosuf untuk memberikan demonstrasi rasional tentang teori mereka bahwa jiwa manusia adalah Substansi spiritual yang ada dengan sendirinya; tidak menempati ruang; bukan tubuh; dan tidak terpateri dalam tubuh; dan ia pun tidak berhubungan dengan tubuh dan tidak pula terpisahkan darinya sebagaimana tuhan tidak di luar alam dan tidak didalam alam dan demikianlah malaikat-malaikat.

Yang menjadi dasar para filsuf dalam hal ini adalah ketidakmungkinan pengetahuan yang ‘satu’ yang rasional terpateri dalam tubuh, karena jika hal itu maka substratum fisik harus juga membagi pengetahuan itu. Begitu juga jiwa sebagai sesuatu yang tunggal tidak dapat menempati tubuh yang merupakan sesuatu yang dapat dibagi-bagi.

Pendapat para filsuf tentang pengetahuan seperti tampak pada silogisme berikut : pertama, apabila substratum pengetahuan adalah suatu tubuh yang dapat dibagi-bagi, maka pengetahuan didalamnya akan terbagi-bagi. Kedua, Tetapi pengetahuan yang ada didalamnya tidak dapat terbagi-bagi, dan ketiga Karenanya substratum itu adalah bukan tubuh.

Menurut al-Ghazali yang menjadi kesalahan para filsuf adalah pemahaman mereka tentang pengetahuan yang akan terbagi oleh pembagian substratumnya. Seperti contoh persepsi indrawi (pengetahuan inderawi) sebagai tampilan atas apa yang dipersepsi dalam jiwa orang yang melakukan persepsi dimana jiwa tetap membutuhkan organ-organ badan sebagai penginderanya[25].

  1. Kelemahan tesis para filosuf bahwa setelah terwujud jiwa manusia tidak dapat hancur; dan bahwa watak keabadiannya mambuatnya mustahil bagi kita untuk membayangkan kehancurannya.

Al-Ghazali memberikan sanggahan mengenai hal ini dalam dua segi ; Pertama, dalam persoalan yang ke 18 telah disebutkan oleh para filsuf bahwa jiwa tidak terdapat dalam tubuh, hal ini telah terbantahkan. Kedua, meskipun mereka tidak menganggap bahwa jiwa ada dalam tubuh akan tetapi terbukti ada suatu hubungan antara jiwa dengan tubuh, sehingga suatu jiwa bergantung pada wujudnya tubuh. Hubungan antara jiwa dan tubuh suatu syarat bagi eksistensi jiwa[26].

  1. Sanggahan terhadap penolakan para Filosof akan kebangkitan tubuh-tubuh.

Menurut al-Ghazali, agama telah mengajarkan kita untuk mempercayai kebangkitan kembali (ba’ts wa nusyur) yang akan dibarengi dengan kemunculan kembali kehidupan dan dengan kebangkitan dimaksudkan kembali kebangkitan tubuh-tubuh, dan ini mungkin dengan mengembalikan jiwa kedalam tubuh, karena jiwalah yang membentuk diri kita ini meskipun tubuh selalu mengalami perubahan[27].

  1. Penutup

Kitab Tahafut melukiskan suatu isi pertentangan antara agama dan filsafat. Pertentangan ini dalam Islam telah muncul dalam berbagai wujud dan bentuk yang berbeda sejak filsafat memasuki kehidupan umat Islam. Agama samawi didasarkan pada wahyu yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul yang ditugaskan menyampaikan risalah kepada umat manusia. Sendi akidah dalam Islam ada tiga : wujud dan keesaan Allah, mengutus para Rasul dan kebangkitan ukhrawi. Tetapi al-Ghazali dalam at-Tahafut hanya menyinggung dua sendi saja, yaitu : yang pertama dan ketiga. Sementara yang kedua “mengutus para Rasul tidak menjadi persoalan yang dibahas” dalam at-Tahafut.

Dari 20 (dua puluh) masalah yang dibahas dapat diringkas sebagai berikut : Pertama. Hubungan Allah dengan alam, meliputi masalah 1 s/d 4 yaitu : qadimnya alam, keabadian alam dan zaman, Allah Pencipta dan Pembuat Alam, dan ketidakmampuan membuktikan adanya pembuat alam. Kedua, keesaan dan ketidakmampuan membuktikan-Nya. -masalah ke-5-. Ketiga, Sifat-sifat Ilahi. -masalah ke-6 s/d ke-12- keempat, Mengetahui hal-hal yang kecil “juz’iyyat”. -masalah ke-13. Kelima, masalah falak dan alam. -masalah ke-14 s/d ke-16. Ke-enam, sebab akibat. masalah ke-17. Ketujuh, jiwa manusia. masalah ke-18 dan ke-19. Kedelapan, kebangkitan jasad pada hari akhirat. masalah ke-20.

Pada bagian khatimah, al-Ghazali mengkafirkan para filosof dalam tiga masalah : kekadiman alam, Allah tidak mengetahui yang kecil-kecil (juz’iyyat) dan pengingkaran kebangkitan dan pengumpulan jasad pada hari kiamat. Adapun masalah-masalah lain yang membahas tentang sifat-sifat Ilahi, akidah tauhid dan kemestian sebab-akibat maka mereka itu lebih dekat kepada pembawa hal-hal baru (bid’ah).

Penutup kitabnya : “Maka barangsiapa yang berpendapat bahwa pembawa bid’ah dari golongan Islam itu kafir maka mereka itu juga kafir dan jika mereka menahan diri dari mengkafirkan mereka itu, maka kekafirannya hanya terbatas pada masalah-masalah ini saja.”

Pemikiran al-Ghazali berubah setelah ia menempuh hidup sufi pada akhir hayatnya. Dalam kitab al-Munqiz ia menulis bahwa apa yang berasal dari Aristoteles itu hanya terbatas dalam tiga bagian : pertama, wajib mengkafirkannya; kedua, wajib membid’ahkannya; ketiga, wajib mengingkarinya sama sekali.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar