Senin, 14 Maret 2016

Hukum Waris Menurut Kristen


A.        Hukum Waris
Kewarisan sudah barang tentu membahas tentang adanya kejadian penting dalam masyarakat tertentu, yaitu adanya seorang anggota dari masyarakat/keluarga yang meninggal dunia. Seorang manusia selaku anggota masyarakat, selama masih hidup, mempunyai tempat dalam masyarakat dengan disertai pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban terhadap orang-orang anggota lain dari masyarakat itu dan terhadap barang-barang yang berada dalam masyarakat itu.
Hubungan-hubungan hukum itu sudah barang tentu tidak lenyap seketika itu, oleh karena biasanya pihak yang ditinggalkan oleh pihak yang wafat tersebut, tidak merupakan seorang manusia atau sebuah barang saja, dan juga oleh karena hidupnya seorang manusia yang meninggal dunia itu, berpengaruh langsung pada kepentingan-kepentingan beraneka warna dari pelbagai anggota masyarakat, dan kepentingan-kepentingan ini, selama hidup seorang itu, membutuhkan pemeliharaan dan penyelesaian oleh orang itu. Oleh karenanya timbul apa yang dinamakan warisan, yaitu cara penyelesaian perhubungan-perhubungan hukum dalam masyarakat yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari wafatnya seorang manusia. Dapat dikatakan bahwa perhubungan-perhubungan hukum yang berhubungan dengan wafatnya seseorang dibutuhkan diatur, adalah hanya mengenai kekayaan seorang itu (vermogenrechtstelijk betrekingen).
Maka dapat ditegaskan selaku pengertian warisan ialah, bahwa warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
ALKITAB
Dalam Taurat Perjanjian Lama kaum Ahli Alkitab, didapatkan pada Kitab Bilangan  mengacu pada pemindahan kepemilikan mayit kepada ahli waris dalam keluarga Israel. Hukum ini dalam Taurat bermula dari pengaduan anak-anak perempuan Zelafehad kepada Nabiullah Musa alaihissalam semoga shalawat dan salam tercurah kepada diri beliau, ketika mereka dapati paman-paman mereka menguasai harta warisan ayah mereka sementara ayah mereka tidak mempunyai anak lelaki.
Maka turunlah Firman Allah kepada Musa yang mengatur pembagian waris. Dimana didalamnya diatur bahwa anak perempuan tidak berhak mendapat warisan JIKA ADA anak lelaki. Keberadaan anak lelaki menghalangi anak wanita mendapatkan harta waris orang tuanya. Barulah ketiadaan anak lelaki memberikan hak bagi anak perempuan. Berikut kisah dalam Taurat Bilangan 31.
Kemudian mendekatlah anak-anak perempuan Zelafehad bin Hefer bin Gilead bin Makhir bin Manasye dari kaum Manasye bin Yusuf–nama anak-anaknya itu adalah: Mahla, Noa, Hogla, Milka dan Tirza dan berdiri di depan Musa dan imam Eleazar, dan di depan para pemimpin dan segenap umat itu dekat pintu Kemah Pertemuan, serta berkata:
 “Ayah kami telah mati di padang gurun, walaupun ia tidak termasuk ke dalam kumpulan yang bersepakat melawan TUHAN, ke dalam kumpulan Korah, tetapi ia telah mati karena dosanya sendiri, dan ia tidak mempunyai anak laki-laki. Mengapa nama ayah kami harus hapus dari tengah-tengah kaumnya, oleh karena ia tidak mempunyai anak laki-laki? Berilah kami tanah milik di antara saudara-saudara ayah kami.”
Lalu Musa menyampaikan perkara mereka itu ke hadapan TUHAN. Maka berfirmanlah TUHAN kepada Musa:
“Perkataan anak-anak perempuan Zelafehad itu benar; memang engkau harus memberikan tanah milik pusaka kepadanya di tengah-tengah saudara-saudara ayahnya; engkau harus memindahkan kepadanya hak atas milik pusaka ayahnya. Dan kepada orang Israel engkau harus berkata: Apabila seseorang mati dengan tidak mempunyai anak laki-laki, maka haruslah kamu memindahkan hak atas milik pusakanya kepada anaknya yang perempuan. Apabila ia tidak mempunyai anak perempuan, maka haruslah kamu memberikan milik pusakanya itu kepada saudara-saudaranya yang laki-laki. Dan apabila ia tidak mempunyai saudara-saudara lelaki, maka haruslah kamu memberikan milik pusakanya itu kepada saudara-saudara lelaki ayahnya. Dan apabila ayahnya tidak mempunyai saudara-saudara lelaki, maka haruslah kamu memberikan milik pusakanya itu kepada kerabatnya yang terdekat dari antara kaumnya, supaya dimilikinya.”
Itulah yang harus menjadi ketetapan hukum bagi orang Israel, seperti yang diperintahkan TUHAN kepada Musa.

Sejarah Kapur Barus

إِنَّ الْأَبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا

Dan orang-orang yang taat akan minum, dari gelas, sejenis minuman yang campurannya adalah kapur [barus] (QS 76: 5).

Minuman bercampur kapur barus? Al-Qur’an menggunakan kata kâfûr, yang secara harfiah berarti kapur barus. Dalam bahasa kita yang lebih populer sekarang berarti kamper. Apa enaknya minuman bercampur kamper? Salah satu jawabnya, kata Fakhrurrozi dalam kitab tafsirnya, kâfûr adalah nama mata air di sorga, yang airnya seputih, sewangi, dan sedingin kapur barus, tapi tidak rasa apalagi bahayanya. Kemungkinan tafsir yang lain, lanjut Fakhrurrozi, adalah bahwa mungkin saja Allah SWT menciptakan kapur barus di sorga namun rasanya lezat, dan Allah menghilangkan semua bahayanya.

Secara garis besar, seperti diuraikan juga misalnya oleh Thabari dan Mawardi dalam kitab tafsir mereka, para ulama menafsirkan kâfûr dalam dua pengertian. Pertama, nama mata air minuman orang-orang shaleh di sorga. Kedua, campuran minuman sewangi kapur barus. Dirumuskan dengan cara lain, kâfûr mungkin sebuah nama mata air di sorga, mungkin juga berarti kapur barus dalam pengertian metaforisnya. Kâfûr di sini jelas tak mungkin difahami secara harfiah. Dalam konteks ini, kâfûr atau kapur barus menunjuk pada sesuatu yang istimewa dan mewah. Ia adalah simbol keistimewaan dan kemewahan.

Untuk memahami keistimewaan dan kemewahan kapur barus, ada baiknya kita lihat sejarah kapur barus. Menurut para ahli, kapur barus atau kamper merupakan barang komuditas di sebagian besar dunia, dari Cina sampai kawasan Laut Tengah (meliputi Indocina, Asia Tenggara, India, Persia, Timur Tengah, bahkan Afrika). Hal itu berlangsung setidaknya sejak abad ke-4 M sampai abad ke-10 atau sesudahnya. Sumber tertua yang menyebutkan kamper berasal dari sebuah catatan seorang pedagang Cina awal abad ke-4 M, yang menelusuri jalur sutera. Di Barat, catatan tertua tentang kamper berasal dari tulisan seorang dokter Yunani yang tinggal di Mesopotamia, bernama Actius (502-578 M). Sementara itu, kronik Dinasti Liang (502-557) di Cina mengaitkan kamper dengan satu daerah yang nanti dikenal dengan Barus.

Asal-usul istilah kamper sendiri sulit dilacak. Para ahli berbeda pendapat soal ini. Sebagian berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari India; sebagian yang lain berpendapat bahwa istilah kamper berasal dari rumpun bahasa Austronesia. Namun yang tampaknya lebih masuk akal adalah kesimpulan Claude Guillot dkk. (2009), seorang sarjana Prancis yang pernah melakukan penelitian arkeologis di Barus. Menurut mereka, istilah kapur atau kamper berasal dari “Asia Selatan atau Asis Tenggara, kemungkinan besar dari Asia Tenggara karena lebih dekat dari sumber-sumber produksinya.”

Ada tiga daerah utama penghasil kamper di Asia Tenggara, yaitu Sumatera, Semenanjung Melayu, dan Borneo. Daerah di Sumatera yang sering disebut-sebut dalam berbagai sumber tertulis sejak abad pertama Masehi adalah Barus, suatu daerah di pantai barat Sumatera, terletak antara Sibolga dan Singkel, yang sekarang masuk wilayah Sumatera Utara. Tetapi, dalam sejarahnya yang panjang selama berabad-abad, barangkali Barus tidak hanya menunjuk pada daerah Barus yang kita kenal dewasa ini. Barangkali dulunya ia adalah satu daerah di sekitar Aceh atau daerah utara Sumatera. Yang pasti, Barus adalah satu daerah di bagian utara Sumatera, yang sangat terkenal di dunia internasional sejak berabad-abad lalu sebagai tempat penghasil kamper atau kapur. Sejak abad ke-6, orang Cina sudah menghubungkan kamper dengan Barus sebagai penghasil kamper itu sendiri. Tidak mengherankan kalau sampai sekarang kita mengenal istilah kapur barus, yang berarti kamper dari Barus.

Catatan tertua tentang Barus ditulis oleh Ptolomaeos, seorang filsur Alexandria abad pertama M. Jika benar bahwa Barus yang disebut Ptolomaeos adalah daerah penghasil kapur atau kamper, bisa dipastikan bahwa kapur (dari) Barus sudah dikenal setidaknya sejak abad pertama M, bahkan di Afrika sana. Bahkan mungkin pada abad-abad sebelumnya. Diduga, kamper adalah salah satu bahan (kimia?) untuk memumikan jenazah para fir’aun di Mesir. Jika ini benar, kapur barus tentu saja merupakan barang yang sangat berharga.

Terutama dari tulisan para ilmuwan Arab (Muslim) abad ke-8-9 M, diketahui bahwa kapur digunakan juga untuk obat-obatan dan wewangian. Ibnu Sina, misalnya, menguraikan secara rinci tentang bagaimana kapur barus digunakan sebagai obat dan wewangian, lengkap dengan cara menyuling kapur barus itu sendiri (Claude Guillot dkk., 2000). Uraian para ilmuwan Muslim ini tentu saja menunjukkan arti penting dan kegunaan kapur barus, yang membuatnya jadi barang komoditas paling dicari di dunia pada masa itu.

Tampaknya kapur barus inilah salah satu hal yang menarik para pedagang dari berbagai belahan dunia datang ke Barus. Yaitu saudagar dari Cina, India, Parsi, Arab, Turki, dan Eropa. Seiring dengan kemajuan sarana transportasi khususnya transportasi laut, stidaknya sejak abad ke-7 di sini sudah terbentuk komunitas Arab, juga Cina dan India, sebagai daerah-daerah yang dilalui jalur perdagangan internasional. Semuanya berburu kapur barus —di samping barang komoditas lain seperti emas dan lada— sebagai komoditas yang sangat mahal dan sangat dibutuhkan oleh pasar dunia.

Kalau kapur barus diproduksi khususnya di Barus dan umumnya di Asia Tenggara, tentulah ia merupakan barang komuditas yang amat mahal di dunia. Sebab bagi Cina, Indocina, India, Persia, Timur Tengah, dan Afrika, komoditas tersebut merupakan barang impor. Apalagi, kapur barus merupakan bahan obat-obatan dan wewangian. Bisa dipastikan, hanya para pembesar dan orang-orang kaya yang dapat memanfaatkannya, baik untuk penyembuhan maupun sekadar untuk wewangian. Permintaan pasar dunia pun terhadap kapur barus tampaknya sangat tinggi.

Sampai di sini kiranya kita bisa mengerti, bahwa kapur barus merupakan barang mewah dan istimewa di dunia setidaknya sejak abad ke-4 hingga setidaknya lima abad berikutnya. Dan dalam konteks itu kita bisa memahami kenapa kapur barus merupakan simbol keistimewaan dan kemewahan. Tampaknya, ketika Al-Qur’an turun pada abad ke-7, kapur (barus) merupakan barang mewah di Timur Tengah. Tidaklah mengherankan kalau Al-Qur’an menggunakan istilah (kâfûr) tersebut untuk menggambarkan keistimewaan dan kemewahan minuman orang-orang shaleh di akhirat. Di sini, Al-Qur’an tidak menggunakan istilah kâfûr dalam kegunaan praktisnya, melainkan dalam nilai simboliknya. Al-Qur’an menarik istilah kâfûr dari pengertiannya yang konkret ke pengertiannya yang abstrak; dari dimensi duniawi ke dimensi rohani.

Berkat kapur inilah, Barus jadi daerah terkenal, setidaknya sejak abad ke-4 dan terutama pada abad ke-7. Barus bahkan tetap terkenal hinggga beberapa abad kemudian ketika daerah itu merosot sebagai pusat niaga dunia, dan mungkin merosot pula sebagai daerah penghasil kapur. Di akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, ketika Barus mengalami kemunduran sebagai pusat niaga dunia, dan tampaknya kapur bukan lagi salah satu komuditas utama dunia, pujangga Hamzah Fansuri menyebut-nyebut kapur dan barus dalam beberapa syairnya, misalnya:

Hamzah Fansuri di dalam Makkah
Mencari Tuhan di Bayt al-Ka’bah
Dari Barus ke Qudus terlalu payah
Akhirnya dapat di dalam rumah


Hamzah Syahr Nawi terlalu hapus
Seperti kayu sekalian hangus
Asalnya laut tiada berharus
Menjadi kapur di dalam Barus.

Akhirnya, mengikuti Guillot, istilah kapur tampaknya berasal dari daerah penghasil kapur barus itu sendiri, yaitu Asia Tenggara. Jika kita setuju dengan Guillot, dan setuju pula bahwa Barus merupakan salah satu daerah penghasil kapur yang sangat terkenal di dunia sejak sebelum Al-Qur’an diturunkan di abad ke-7, kita bisa mengatakan: kapur (barus), inilah kosa kata kita yang diserap dan digunakan oleh Al-Qur’an. Wallâhu a`lamu bisshawâb.[]

Sabtu, 16 Januari 2016

Kerancuan filsafat

Al-Ghazali tidak hanya menyerang pandangan filsafat dengan dasar argumentasi akan tetapi menggunakan kata-kata yang sarkastis bahkan  mengkafirkan para filosof yang menurut sebagian pengkaji filsafat dianggap terlalu berlebihan.

Sulayman al-Dunya[1] menyebut bahwa masa ditulisnya Tahafut al-Falasifah adalah masa-masa kegalauan dan ketidak percayaan al-Ghazali pada banyak disiplin ilmu Islam. Ibn Rushd, 90 tahun kemudian sejak ditulis Tahafut al-Falasifah menulis jawaban dengan judul Tahafut al-Tahafut, sayangnya jawaban ini sedikit terlambat kehadirannya sehingga dianggap tidak mengatasi pengaruh yang telah dihasilkan Tahafut al-Falasifah. Namun demikian kedua karya tersebut menempati ruang tersendiri dalam sejarah pemikiran Islam dan menjadi kajian para peneliti sampai saat ini.

Dalam tulisan ini akan fokus membahas tahafut falasifah karya Imam al-Ghazali. Kitab ini terdiri atas empat mukaddimah[2], 20 masalah dan khatimah. Mukaddimah pertama ialah bahwa Aristoteles telah merupakan seorang pemuka dalam filsafat, menyimpulkan pemikiran-pemikiran para filosof dan karena itu perlu menyanggahnya.

Kedua beberapa pemikiran filosof tidak bertentangan dengan agama karena merupakan pendapat tentang fisika seperti pembahasan tentang gerhana matahari dan bulan yang dalam dirinya tidak mengandung celaan dan pujian. Namun ada pemikiran lain yang berkaitan dengan dasar-dasar agama, seperti mengatakan alam ini kadim yang tentunya tidak boleh didiamkan.

Ketiga, yang dimaksudkan dengan kitab ini menjelaskan keruntuhan (tahafut) para filosof, yaitu menyanggah pemikiran mereka. Sedangkan penjelasan tentang akidah yang benar disebutkan dalam kitab-kitab lain.

Keempat, walaupun para filosof mempergunakan matematika dan logika sebagai metoda berpikir, maka itu tidaklah perlu bagi teologi, walaupun keabsahan matematika tidak dapat diingkari. Adapun logika, maka itu alat berpikir yang dipergunakan oleh para filosof seperti yang dipergunakan oleh insan lainnya. Logika itu bukanlah suatu ilmu yang terasing dalam kalangan umat Islam dan mereka menyebutnya ilmu penalaran (nazar) atau ilmu debat (jadal) atau pengetahuan akal (madarik al-‘uqul).

  1. Biografi Imam Al-Ghazali

Sebelum menguraikan lebih jauh tentang biografi al-Ghazali, perlu diketahui bahwa kehidupan Imam al-Ghazali dibagi 3 (tiga) fase kehidupan yaitu Fase pra-keraguan, fase terjadinya keraguan, dan fase mendapat petunjuk dan ketenangan. Fase pertama, pra-keraguan. Fase ini al-Ghazali masih seorang pelajar yang belum mencapai tarap kematangan intelektual, yang mempersiapkan diri untuk menjadi seorang yang memiliki pendapat independen.

Fase kedua, fase terjadinya keraguan, baik keraguan yang keras maupun yang ringan. Fase ini terjadi dalam rentang waktu yang cukup lama, yang berawal sejak usia muda sampai al-Ghazali memasuki dunia tasauf dan memperoleh hidayah Allah. Di tengah fase ini al-Ghazali menulis karya-karyanya dalam ilmu kalam, kritik terhadap filsafat dan aliran bathiniyah. Pada saat itu ia mengajar di dua sekolah yaitu, Naisabur dan Baghdad. Pada fase ini al-Ghazali juga menulis tentang tahafut al-falasifah yang beliau katakan sebagai sarana mendustakan mazhab para filosof. Sedangkan untuk mengafirmasi mazhab yang benar beliau menyatakan setelah selesai penyusunan kitab tahafut ini beliau dengan maunah Allah (pen. berjanji) akan menyusun kitab dengan tema Qowaid al-aQaid[3] (prinsip-prinsip keyakinan).

Fase ketiga, yaitu fase dimana al-Ghazali telah mendapat petunjuk pada pandangan ketersingkapan tabir sufistik (al-kasyf ash-shufiyah). Fase ini adalah fase yang memungkinkan untuk menjadikan karya-karyanya sebagai rujukan untuk menggambarkan mazhab yang benar versi al-Ghazali. Tetapi tidak semua karyanya pada fase ini layak untuk hal tersebut, karena pada fase ini al-Ghazali juga hadir dengan karyanya dalam pengertian mazhab yang lain.

Berikutnya terkait biografi Al-Ghazali, nama lengkapnya adalah Al-Ghazali Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali, yang terkenal dengan gelar hujjatul Islam. Beliau lahir tahun 450 H, bertepatan dengan 1059 M di Ghazalah, suatu kota kecil yang terlelak di Thus wilayah Khurasan Iran[4].

Perjalanan al-Ghazali dalam memulai pendidikannya di wilayah kelahirannya. Kepada ayahnya beliau belajar Al-qur’an dan dasar-dasar ilmu keagamaan lainnya, selanjutnya mempelajari dasar-dasar pengetahuan lainnya di Thus.

Santunan kehidupan sebagaimana lazimnya waktu beliau untuk belajar fiqh pada Imam Kharamain,  al-Ghazali mempelajari beragam mazhab– dan ikhtilaf yang terjadi diantaranya perbedaan pendapat), mantik, hikmah, dan falsafah.

Setelah Imam Kharamain wafat, beliau pergi ke Baghdad dan mengajar di Nizhamiyah. Beliau mengarang kitab al-basith, al-wasith, al-wajiz, dan al-khulashah. Dalam ushul fiqih beliau mengarang kitab al-mustasfa, al-mankhul, bidayatul hidayah, dan kitab-kitab lain dalam berbagai bidang.

Antara tahun 465-470 H. al-Ghazali belajar fiqih dan ilmu-ilmu dasar yang lain dari Ahmad Al-Radzaski di Thus, dan Abu Nasral Ismaili di Jurjan. Setelah al-Ghazali kembali ke Thus, dan selama 3 tahun di tempat kelahirannya, beliau mengaji ulang pelajaran di Jurjan sambil belajar tasawuf  kepada Yusuf Al Nassai (w-487 H). Pada tahun itu al-Ghazali berkenalan dengan al-Juwaini dan memperoleh ilmu kalam dan mantiq.

Walaupun kemashuran telah diraihnya, al-Ghazali tetap setia terhadap gurunya sampai wafatnya pada tahun 478 H. Sebelum al Juwani wafat, beliau memperkenalkan Imam al-Ghazali kepada Nidzham Al-Mulk, perdana menteri sultan Saljuk Malik Syah. Nidzham adalah pendiri madrasah al-Nidzhamiyah. Di Naisabur ini imam al Ghazali sempat belajar tasawuf kepada Abu Ali Al-Faldl Ibn Muhammad Ibn Ali Al- Farmadi (w.477 H/1084 M).

Setelah gurunya wafat, al Ghazali meninggalkan Naisabur menuju negeri Askar untuk berjumpa dengan Nidzham al Mulk. Di daerah ini beliau mendapat kehormatan untuk berdebat dengan ‘ulama. Dari perdebatan yang dimenangkannya, namanya semakin populer dan disegani karena keluasan ilmunya. Pada tahun 484 H/1091 M, al Ghazali diangkat menjadi guru besar di madrasah Nidzhamiyah, ini dijelaskan dalam bukunya al Munkid min al-Dhalal. Selama mengajar di madrasah, al- Ghazali mendalami filsafat secara otodidak, terutama pemikiran al- Farabi, Ibn Sina, Ibn Miskawih dan Ikhwan Al Shafa. Untuk membuktikan kemampuannya dalam bidang filsafat, al-Ghazali menulis karya Muqaddimah Tahafut al-Falasifah al-Musamma Maqashid al-Falasifah”.

Pada tahun 488 H/1095 M, imam al Ghazali dilanda keraguan terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (hukum teologi dan filsafat). Keraguan terhadap pekerjaan dan karya-karya yang dihasilkannya, menyebabkan ia menderita penyakit selama dua bulan dan sulit diobati. Karena itu, al Ghazali tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai guru besar di Madrasah Nidzamiyah, yang akhirnya beliau meninggalkan Baghdad menuju kota Damaskus. Selama kira-kira dua tahun di Damaskus, al Ghazali melakukan uzlah, riyadhah, dan mujahadah. Kemudian beliau pindah ke Bayt al-Maqdis Palestina untuk melakukan hal serupa,  untuk kemudian tergerak hatinya menunaikan ibadah haji dan menziarahi maqam Rosulullah Saw.

Sepulang dari tanah suci, al-Ghazali mengunjungi kota kelahirannya Thus, di sinilah beliau tetap berkhalwat dalam keadaan skeptis, berlangsung selama 10 tahun. Pada periode itulah beliau menulis karyanya yang terkenal Ihya’ al-Ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu agama). Kemudian beliau mendirikan madrasah bagi para fuqaha dan Zawiyah–Khanaqoh untuk para Sufi. Di kota inilah beliau wafat pada tahun 505 H /1 Desember 1111 M.

Abul Fajar al-Jauzi dalam kitabnya al-‘Asabah ‘inda Amanah mengatakan, Ahmad saudaranya al Ghazali berkata pada waktu shubuh, Al-Ghazali berwudhu dan melakukan sholat, kemudian beliau berkata: “ambillah kain kafan untukku,”  kemudian ia mengambil dan menciumnya lalu meletakkan di atas kedua matanya sambil berkata, ” Aku mendengar dan taat untuk menemui Al-Malik kemudian menjulurkan kakinya dan menghadap kiblat. al Ghazali yang bergelar hujjatul islam itu meninggal dunia menjelang matahari terbit di kota kelahirannya Thus (Mashad-Iran sekarang) pada hari senin 14 Jumadil Akhir 505 H (1111 M). Imam al Ghazali dimakamkan di Zhahir al Tabiran, ibu kota Thus.

  1. Pemikiran Imam Al-Ghazali dalam Kitab Tahafut al-Falasifah

Dari segi bahasa, Tahafut berarti keguguran dan kelemahan. Orang mengatakan, tahafata’ts-tsaubu, artinya : kain jatuh dan rusak. Yang dimaksudkan ialah bahwa para filosof telah jatuh mati akibat tikaman maut yang diarahkan oleh al-Ghazali terhadap pemikiran mereka. Pada hakikatnya, tikaman itu mamang mematikan, mengenai inti masalah sehingga ilmu filsafat tidak lagi muncul sesudah itu (di dunia Islam), kendatipun adanya upaya mati-matian dari Ibn Rusyd untuk mempertahankannya

Al-Ghazali menulis buku Tahafutnya ketika ia sedang dalam fase skeptis ringan (asy-syakk al-khafif), yaitu ketika ia belum mendapat petunjuk pada hakekat kebenaran. Ini menuntut tidak adanya pengakuan atas tahafut sebagai salah satu sumber yang dapat dijadikan rujukan tentang ide dan orientasi pemikiran al-Ghazali.

Al-Ghazali sendiri membagi seluruh karyanya menjadi dua. Pertama, kelompok karya yang ia istilahkan “yang terlarang bagi selain yang berkompeten” (al-madhnun biha ala ghairi ahliha). Kedua, karya-karya yang disajikan untuk konsumsi masyarakat umum (jumhur). Ia adalah kelompok karya yang memang diperuntukkan bagi masyarakat yang sesuai dengan tingkat intelektualitasnya. Kemudian ia menyebut tahafut termasuk kelompok kedua.

Tahafut al-falasifah adalah kitab yang disusun oleh al-Ghazali saat ia menjabat di Madrasah an-Nidhomiyah Bagdad. Isi dari tahafut al-falasifah adalah sanggahan-sanggahan al-Ghazali pada hasil pemikiran filsafat Yunani yang dibawa oleh Ibnu sina dan Ibnu Arabi’

Terdapat 20 perkara pemikiran filsafat yang dikritik dan coba diruntuhkan oleh al-Ghozali. Dalam 20 persoalan tersebut terdapat 3 persoalan yang oleh al-Ghazali yang dibantah logikanya dan dibantah hasil pemikirannya serta dikafirkan jika mempercayainya, yaitu keqodiman Alam, Allah tidak mengetahui partikularia-partikularia dan pengingkaran filosof akan kebangkitan jasmani di hari akhir. Sedang 17 persoalan sisa adalah persoalan-persoalan yang dibantah logikanya tapi belum tentu substansinya.

Sebenarnya logika al-Ghazali dalam mengemukakan pendapatnya bukanlah hal yang asing bagi kita, karena para ilmu kalam abad pertengahan yang diajarkan di pesantren juga menggunakannya dalam menjelaskan persoalan ilmu tauhid.

Berikut ini akan diuraikan secara ringkas garis besar kandungan kitab Tahafut al-Falasifah yang membongkar tabir kerancuan para filosof karya Imam al-Ghazali.

  1. Sanggahan atas pandangan para filosof tentang ke azalian (eternitas) Alam

Dalam bahasan pertama tentang berbagai sanggahan terhadap filosof, yang diuraikan dalam bentuk tulisan dialog dapat disimpulkan meliputi empat bahasan yaitu, qadimnya alam, keabadian alam dan zaman, Allah Pencipta dan Pembuat Alam, dan ketidakmampuan membuktikan adanya pembuat alam. Disini al-Ghazali menyanggah teori emanasi Ibnu Sina. Bagi al-Ghazali Alam adalah sesuatu yang baru (hudust) dan bermula dan yang qodim hanyalah satu yaitu Allah[5].

  1. Sanggahan terhadap teori keabadian (abadiyah) Alam, masa dan ruang.

Seperti yang kita tahu dalam filsafat; benda (materi), masa (waktu) dan ruang adalah timbul pada saat bersamaan dengan materi, masa adalah ukuran jarak waktu dari materi dan ruang adalah dimana materi berada. Bagi filosof benda (materi) itu abadi (mungkin sama dengan keabadian energi dalam fisika). al-Ghazali membantah keniscayaan tersebut, baginya jika Allah berkehendak untuk menghancurkan Alam dan meniadakannya (I’dam) maka hancurlah Alam ini dan tiada pulalah ia[6].

  1. Kerancuan para filosof dalam menjelaskan bahwa Tuhan adalah pencipta alam dan alam adalah ciptaannya, dan keterangan bahwa hal tersebut adalah majaz (perumpamaan) dan bukan hakikatnya

Disini kritik al-Ghazali lebih pada pendapat filosuf yang mengatakan bahwa Allah tidak bersifat. Dan jika Allah adalah pencipta seperti apa yang kita ketahui selama ini, maka pencipta haruslah berkehendak terlebih (murid) dahulu, yang memilih (mukhtar), dan mengetahui dengan apa yang dikehendakinya. Sehingga Tuhan menjadi Fa’il(Pelaku) akan apa yang dikehendaki-Nya. Dan bagi para Filosuf Tuhan tiadalah dzat yang berkehendak (murid) karena kehendak adalah sifat sedangkan Tuhan adalah dzat yang suci dari segala sifat. Dan sesuatu yang timbul dari-Nya adalah sesuatu kosekwensi yang mesti (luzum dlaruri).

Hal kedua bagi filosof yang tidak mungkin terjadi karena alam adalah qodim adapun fi’il (perbuatan) adalah baru (hadist). Ketiga, Tuhan satu dan tidak timbul darinya kecuali yang satu dan alam murakkab (berjumlah/bersusun) dari banyak segi. Maka menurut para filosuf bagaimana mungkin sesuatu yang murakkab dapat timbul dari sesuatu yang satu?. Dan al-Ghazali menolak ketiga hal di atas[7].

  1. Ketidakmampuan Filosof untuk membuktikan ada (wujud)-Nya pencipta alam.

Disini al-Ghazali mempertanyakan tesa yang menyatakan bahwa Alam qodim, tapi ia diciptakan. Dan bagi al-Ghazali ini adalah perpaduan pendapat antara ahlu al-haq yang menyatakan alam adalah hadist, dan yang hadist pasti ada penciptanya dan kaum Atheis (Dahriyah) yang menyatakan bahwa Alam adalah qodim maka ia tidak membutuhkan pencipta. Bagi al-Ghazali pendapat para filosuf tersebut secara otomatis batal[8].

  1. Kelemahan para filosof dalam mengemukakan dalil (rasional) bahwa Tuhan adalah satu dan kemustahilan adanya dua Tuhan, wajib al-wujud, yang masing-masing tiada illat (sebab).

Al-Ghazali menantang segala hal dalam pembuktian para filosuf tersebut. Bagi al-Ghazali yang ditolak adalah logika-logika yang dipakai dan bukan pada subtansi persoalan[9].

  1. Sanggahan tentang tiadanya sifat bagi Tuhan.

Bagi para filosuf, Tuhan harus dibersihkan dari segala berkehitungan (muta’addidah), termasuk segala sifat yang oleh kaum asy-‘Ariyah selama ini dilekatkan pada Tuhan. Jika sifat ada bersamaan dengan Tuhan maka ada saling ketergantungan antar keduanya, dualisme Tuhan adalah hal yang mustahil, apalagi jika ditambah dengan dengan af’al.

Al-Ghazali menolak argument ini, dan menyatakan kelemahan pendapat para filosuf tentang ketiadaan sifat Tuhan. Bagi al-Ghazali hal ini ditolak karena sifat adalah hal yang niscaya ada pada dzat tapi bukan berarti ia menjadi sesuatu yang lain dari dzat[10].

  1. Sanggahan terhadap teori bahwa dzat Tuhan mustahil didefinisikan.

Para Filosuf berpendapat definisi itu mengandung dua aspek; jins (genus) dan fashl (diferensia), dan Tuhan adalah dzat yang tidak mungkin ber-musyarakah dalam jins dan ia tidak dibagi dalam fashl. Keduanya adalah komposisi dan Tuhan mustahil berkomposisi. Bagi al-Ghazali bisa saja komposisi “bagian-bagian” itu terjadi dari segi definitive. Hal ini karena al-Ghazali menerima adanya sifat-sifat bagi Tuhan[11].

  1. Batalnya pendapat Filosuf: Wujud Tuhan sederhana, maksudnya wujud Tuhan adalah wujud yang murni, bukan mahiyah (hakikat sesuatu-al-kautsar) dan bukan hakikat yang wujud Tuhan disandarkan padanya. Tapi wujud al-wajib seprti mahiyah bagi yang lainnya.

Al-Ghazali menyangkal semua analogi folosuf baik tentang mahiyah, hakikat, dan wujud al-wajib yang menurut al-Ghazali mengulangi kerancuan yang sama. Al-Ghazali mempertanyakan segala metode yang dipakai dalam menelurkan pemikiran tersebut dan menganggapnya sebagisuatu kesalahan para filosuf[12].

  1. Ketidakmampuan filosof untuk membuktikan, dengan argumen rasional bahwa Tuhan bukan tubuh (jism).

Hal ini berangkat dari adanya tubuh eternal (jism qodim) yang diterima oleh kalangan Filosuf. Hal ini bagi al-Ghazali adalah hal yang rancu karena jism adalah hadist karena ia tersusun dari diferensia (fashl-fashl). Jika Filosuf mengelak dengan mengatakan bahwa wajib al-Wujud adalah satu jadi ia tidak dapat dibagi-bagi seperti yang lainnya. Hal ini pun menurut al-Ghazali adalah logika yang dipaksakan karena hal iu berangkat dari persepsi tentang kemustahilan komposisi (tarkib), dan penolakan terhadap komposisi didasarkan pada penolakan terhadap mahiyah (kuiditas-terj)[13].

  1. Ketidakmampuan Filosof untuk membuktikan melalui dalil rasional, adanya sebab atau pencipta alam.

Hal ini bagi al-Ghazali masih berupa kerancuan para Filosuf yang mempertahankan pendapat tentang ke qodim an Alam tapi ia diciptakan. Menurut al-Ghazali mengapa mereka tidak berkata seperti kaum Atheis saja yang mengatakan Alam itu qodim dan tiada memerlukan pencipta, karena suatu sebab hanya diperlukan bagi hal yang bermula di dalam waktu (hadist)[14].

  1. Kelemahan pendapat para filsuf yang mengatakan bahwa Tuhan mengetahui yang lainnya dan bahwa Dia mengetahui Species (al-anwa) dan Genera (jins) secara universal (bi naui kulliat).

Para filsuf mengatakan bahwa Tuhan mengetahui al-Anwa dan al-Jins secara kulliat karena emanasi yang terjadi padanya hanya secara universal bukan individu-individu atau pribadi-pribadi.

Akan tetapi al-Ghazali memberikan sanggahan bahwa Tuhan menciptakan alam dengan kehendaknya, maka alam menjadi objek kehendak, sangat mustahil objek kehendak tidak diketahui oleh yang berkehendak[15].

  1. Ketidakmampuan para filosuf untuk membuktikan bahwa Tuhan juga mengetahui Dirinya sendiri.

Persoalan ini berpangkal pada pendapat para filsuf yang mengatakan bahwa alam beremanasi secara alami, bukan atas kehendak, seperti emanasi sinar matahari dari matahari.

Sanggahan yang diberikan oleh al-Ghazali adalah apabila sesuatu yang beremanasi dari Tuhan mengetahui dirinya sendiri bagaimana mungkin Tuhan sebagai asal emanasi tidak mengetahui diri-Nya sendiri, karena Tuhan menyadari akan adanya emanasi tersebut, sesuai dengan yang dikehendaki-Nya[16].

  1. Gugurnya pendapat para Filosuf bahwa Tuhan tidak mengetahui Partikularia-partikularia yang dapat dibagi-bagi sesuai dengan pembagian waktu ke dalam “telah”, “sedang” dan “akan”.

Pendapat para filsuf bahwa pengetahuan mengikuti objek pengetahuan, apabila objek berubah, maka pengetahuan juga berubah, apabila pengetahuan berubah maka subjek pun juga berubah. Perubahan yang terjadi pada suatu benda akan menyebabkan pengetahuan atas benda itu juga berubah demikian juga subjek yang mengetahui perubahan itu. Akan tetapi, mustahil Tuhan berubah karenanya Ia tidak mengetahui perubahan-perubahan sesuatu yang terjadi dalam waktu.

Tak sesuatupun yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya, tetapi pengetahuan-Nya tentang hal tersebut tetap sama, baik sebelum terjadinya suatu perubahan, sedang terjadi maupun setelah terjadinya. Inilah argumen al-Ghazali mengenai hal itu.

Ditambahkan oleh al-Ghazali bahwa pendapat para filsuf mengenai hal ini bertentangan dengan pendapat mereka sebelumnya yang mengatakan bahwa alam qadim, sesuatu yang qadim tidak dapat berubah. Mengapa ia berubah? Maka para filsuf harus mengubah pendapatnya mengenai keqadiman alam[17].

  1. Ketidakmampuan para filosuf untuk membuktikan bahwa langit adalah makhluk hidup (hayawan), dan mematuhi Tuhan melalui geraknya.

Langit adalah makhluk hidup dan mempunyai suatu jiwa yang berhubungan dengan tubuh langit sebagaimana jiwa kita berhubungan dengan tubuh kita. Ini dibuktikan dengan adanya gerak langit. Gerak langit bukanlah gerakan alami[18],bukan pula gerakan terpaksa (digerakkan oleh “yang lain”) akan tetapi gerakan volisional[19] (irady wa nafsany).

Mengenai ungkapan ini, al-Ghazali menyatakan bahwa langit bukanlah makhluk hidup, karena Gerakan langit adalah gerakan “paksaan”[20] dan kehendak tuhan sebagai prinsipnya[21].

  1. Sanggahan terhadap yang filosuf sebut tujuan yang menggerakkan langit.

Gerakan langit menurut para filsuf bertujuan untuk taqarrub (mendekatkan diri) pada Allah. Pengertian yang dimaksud adalah mendekatkan diri dalam hal sifat-sifat bukan dalam hal ruang, sebagaimana kedekatan malaikat pada-Nya, karena ada-Nya sebagai wujud yang sempurna berbeda dengan bertentangan dengan segala sesuatu yang tidak sempurna. Dan malaikat-malaikat yang dekat (al-muqarrabun) adalah sesuatu yang mendekati kesempurnaan-Nya. Kesempurnaan langit didapat melalui penyerupaan (tasyabbuh) dengan Prinsip Pertama melalui ; penempatan yang sempurna dalam semua posisi yang mungkin baginya.

Sanggahan yang diberikan oleh al-Ghazali seperti yang diungkapkannya pada persoalan sebelumnya (14). Ia menambahkan, bahwa gerakan langit tidak menunjukkan bahwa mereka (langit) bertujuan untuk mendekati kesempurnaan dalam artian kesempurnaan Tuhan, karena tidak ada bedanya antara posisi mereka di suatu tempat dan ditempat yang lain yang menunjukkan kesempurnaan. Semuanya hanya perpindahan posisi saja[22].

  1. Kelemahan teori para filsuf bahwa jiwa-jiwa langit mengetahui semua partikularia-partikularia yang bermula (al-juziyyat al-haditsah) didalam alam ini.

Persoalan ini bermula ketika para filsuf mengatakan bahwa malaikat langit adalah jiwa-jiwa langit, yang menjadi perantara Tuhan dalam mengisi al-lawh al mahfudl. Sanggahan yang diungkapkan oleh al-Ghazali kemudian adalah bagaimana mungkin sebuah makhluk dapat mempunyai pengetahuan tentang partikularia-partikularia (juz’iyyat) yang tak terbatas.

Ditambahkan oleh al-Ghazali hal yang paling kacau adalah pernyataan para filsuf bahwa apabila falak mempunyai gerakan-gerakan partikular, maka ia juga mempunyai representasi subordinat-subordinat dan konsekuensi-konsekuensi dari gerakan partikular itu.

Seperti seorang manusia yang bergerak mesti mengetahui gerakan-gerakannya dan konsekuensi atas gerakannya dalam hubungannya dengan tubuh-tubuh yang lain atau makhluk-makhluk yang lain dan itu tidak mungkin[23].

  1. Sanggahan terhadap para Filosuf akan kemustahilan Perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa.

Menurut al-Ghazali, hubungan yang dipeercaya sebagai sebab dan akibat adalah tidak wajib. Semua hubungan sebab dan akibat terjadi karena memang Tuhan telah menciptakannya demikian adanya. Seperti, Dia kuasa menciptakan kekenyangan tanpa makan, seperti contoh ketika Ibrahim tidak terbakar api. Hal itu tidak mungkin terjadi kecuali meniadakan panas dari api atau Tuhan telah menciptakan suatu sifat tertentu yang dapat mencegah timbulnya sebuah akibat dari suatu sebab[24].

  1. Tentang ketidakmampuan para Filosuf untuk memberikan demonstrasi rasional tentang teori mereka bahwa jiwa manusia adalah Substansi spiritual yang ada dengan sendirinya; tidak menempati ruang; bukan tubuh; dan tidak terpateri dalam tubuh; dan ia pun tidak berhubungan dengan tubuh dan tidak pula terpisahkan darinya sebagaimana tuhan tidak di luar alam dan tidak didalam alam dan demikianlah malaikat-malaikat.

Yang menjadi dasar para filsuf dalam hal ini adalah ketidakmungkinan pengetahuan yang ‘satu’ yang rasional terpateri dalam tubuh, karena jika hal itu maka substratum fisik harus juga membagi pengetahuan itu. Begitu juga jiwa sebagai sesuatu yang tunggal tidak dapat menempati tubuh yang merupakan sesuatu yang dapat dibagi-bagi.

Pendapat para filsuf tentang pengetahuan seperti tampak pada silogisme berikut : pertama, apabila substratum pengetahuan adalah suatu tubuh yang dapat dibagi-bagi, maka pengetahuan didalamnya akan terbagi-bagi. Kedua, Tetapi pengetahuan yang ada didalamnya tidak dapat terbagi-bagi, dan ketiga Karenanya substratum itu adalah bukan tubuh.

Menurut al-Ghazali yang menjadi kesalahan para filsuf adalah pemahaman mereka tentang pengetahuan yang akan terbagi oleh pembagian substratumnya. Seperti contoh persepsi indrawi (pengetahuan inderawi) sebagai tampilan atas apa yang dipersepsi dalam jiwa orang yang melakukan persepsi dimana jiwa tetap membutuhkan organ-organ badan sebagai penginderanya[25].

  1. Kelemahan tesis para filosuf bahwa setelah terwujud jiwa manusia tidak dapat hancur; dan bahwa watak keabadiannya mambuatnya mustahil bagi kita untuk membayangkan kehancurannya.

Al-Ghazali memberikan sanggahan mengenai hal ini dalam dua segi ; Pertama, dalam persoalan yang ke 18 telah disebutkan oleh para filsuf bahwa jiwa tidak terdapat dalam tubuh, hal ini telah terbantahkan. Kedua, meskipun mereka tidak menganggap bahwa jiwa ada dalam tubuh akan tetapi terbukti ada suatu hubungan antara jiwa dengan tubuh, sehingga suatu jiwa bergantung pada wujudnya tubuh. Hubungan antara jiwa dan tubuh suatu syarat bagi eksistensi jiwa[26].

  1. Sanggahan terhadap penolakan para Filosof akan kebangkitan tubuh-tubuh.

Menurut al-Ghazali, agama telah mengajarkan kita untuk mempercayai kebangkitan kembali (ba’ts wa nusyur) yang akan dibarengi dengan kemunculan kembali kehidupan dan dengan kebangkitan dimaksudkan kembali kebangkitan tubuh-tubuh, dan ini mungkin dengan mengembalikan jiwa kedalam tubuh, karena jiwalah yang membentuk diri kita ini meskipun tubuh selalu mengalami perubahan[27].

  1. Penutup

Kitab Tahafut melukiskan suatu isi pertentangan antara agama dan filsafat. Pertentangan ini dalam Islam telah muncul dalam berbagai wujud dan bentuk yang berbeda sejak filsafat memasuki kehidupan umat Islam. Agama samawi didasarkan pada wahyu yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul yang ditugaskan menyampaikan risalah kepada umat manusia. Sendi akidah dalam Islam ada tiga : wujud dan keesaan Allah, mengutus para Rasul dan kebangkitan ukhrawi. Tetapi al-Ghazali dalam at-Tahafut hanya menyinggung dua sendi saja, yaitu : yang pertama dan ketiga. Sementara yang kedua “mengutus para Rasul tidak menjadi persoalan yang dibahas” dalam at-Tahafut.

Dari 20 (dua puluh) masalah yang dibahas dapat diringkas sebagai berikut : Pertama. Hubungan Allah dengan alam, meliputi masalah 1 s/d 4 yaitu : qadimnya alam, keabadian alam dan zaman, Allah Pencipta dan Pembuat Alam, dan ketidakmampuan membuktikan adanya pembuat alam. Kedua, keesaan dan ketidakmampuan membuktikan-Nya. -masalah ke-5-. Ketiga, Sifat-sifat Ilahi. -masalah ke-6 s/d ke-12- keempat, Mengetahui hal-hal yang kecil “juz’iyyat”. -masalah ke-13. Kelima, masalah falak dan alam. -masalah ke-14 s/d ke-16. Ke-enam, sebab akibat. masalah ke-17. Ketujuh, jiwa manusia. masalah ke-18 dan ke-19. Kedelapan, kebangkitan jasad pada hari akhirat. masalah ke-20.

Pada bagian khatimah, al-Ghazali mengkafirkan para filosof dalam tiga masalah : kekadiman alam, Allah tidak mengetahui yang kecil-kecil (juz’iyyat) dan pengingkaran kebangkitan dan pengumpulan jasad pada hari kiamat. Adapun masalah-masalah lain yang membahas tentang sifat-sifat Ilahi, akidah tauhid dan kemestian sebab-akibat maka mereka itu lebih dekat kepada pembawa hal-hal baru (bid’ah).

Penutup kitabnya : “Maka barangsiapa yang berpendapat bahwa pembawa bid’ah dari golongan Islam itu kafir maka mereka itu juga kafir dan jika mereka menahan diri dari mengkafirkan mereka itu, maka kekafirannya hanya terbatas pada masalah-masalah ini saja.”

Pemikiran al-Ghazali berubah setelah ia menempuh hidup sufi pada akhir hayatnya. Dalam kitab al-Munqiz ia menulis bahwa apa yang berasal dari Aristoteles itu hanya terbatas dalam tiga bagian : pertama, wajib mengkafirkannya; kedua, wajib membid’ahkannya; ketiga, wajib mengingkarinya sama sekali.

 

Kamis, 14 Januari 2016

IBNU RUSYD

RIWAYAT HIDUP

bu Walid Muhammad bin Rusyd lahir di Kordoba (Spanyol) pada tahun 520 Hijriah (1128 Masehi). Ayah dan kakek Ibnu Rusyd adalah hakim-hakim terkenal pada masanya. Ibnu Rusyd kecil sendiri adalah seorang anak yang mempunyai banyak minat dan talenta. Dia mendalami banyak ilmu, seperti kedokteran, hukum, matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd mendalami filsafat dari Abu Ja'far Harun dan Ibnu Baja.

Ibnu Rusyd adalah seorang jenius yang berasal dari Andalusia dengan pengetahuan ensiklopedik. Masa hidupnya sebagian besar diberikan untuk mengabdi sebagai "Kadi" (hakim) dan fisikawan. Di dunia barat, Ibnu Rusyd dikenal sebagai Averroes dan komentator terbesar atas filsafat Aristoteles yang memengaruhi filsafat Kristen pada abad pertengahan, termasuk pemikir semacam St. Thomas Aquinas. Banyak orang mendatangi Ibnu Rusyd untuk mengkonsultasikan masalah kedokteran dan masalah hukum.

Pemikiran Ibnu Rusyd

Karya-karya Ibnu Rusyd meliputi bidang filsafat, kedokteran dan fikih dalam bentuk karangan, ulasan, essai dan resume. Hampir semua karya-karya Ibnu Rusyd diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Ibrani (Yahudi) sehingga kemungkinan besar karya-karya aslinya sudah tidak ada.

Filsafat Ibnu Rusyd ada dua, yaitu filsafat Ibnu Rusyd seperti yang dipahami oleh orang Eropa pada abad pertengahan; dan filsafat Ibnu Rusyd tentang akidah dan sikap keberagamaannya.

Karya

  • Bidayat Al-Mujtahid (kitab ilmu fiqih)

  • Kulliyaat fi At-Tib (buku kedokteran)

  • Fasl Al-Maqal fi Ma Bain Al-Hikmat Wa Asy-Syari’at (perihal perkataan-perkataan dalam hal kebijaksaan dan syariat)

Abu Hamid Muhammad bin muhammad al ghazali

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i (lahir di Thus; 1058 / 450 H – meninggal di Thus; 1111 / 14 Jumadil Akhir 505 H; umur 52–53 tahun) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan.
Ia berkuniah Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid.[butuh rujukan] Gelar dia al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan, Persia (Iran). Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa dia bermazhab Syafi'i. Ia berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Ia pernah memegang jawatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad. Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah bersamaan dengan tahun 1111 Masehi di Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya.
 2.      Karya-Karya Al-Ghazali

Sebagai seorang ulama dan pemikir dalam dunia Islam, tentunya ia sangat tekun untuk menulis kitab. Jumlah kitab yang ditulis al-Ghazali sampai sekarang belum disepakati secara definitif oleh para penulis sejarahnya. Menurut Ahmad Daudy, penelitian paling akhir tentang berapa jumlah buku yang dikarang oleh al-Ghazali seperti halnya yang dilakukan oleh Abdurrahman Al-Badawi, yang hasilnya dikumpulkan dalan satu buku yang berjudul Muallafat Al-Ghazali.Dala buku tersebut, Abdurrahman mengklasifikasikan kitab-kitab yang ada hubungannya dengan karya al-Ghazali dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok kitab yang dapat dipastikan sebagai karya al-Ghazali yang terdiri atas 72 buah kitab. Kedua, kelompok kitab yang diragukan sebagai karyanya yang asli terdiri atas 22 kitab. Ketiga, kelompok kitab yang dapat dipastikan bukan karyanya, terdiri atas 31 buah kitab.[9]

Mengenai kitab-kitab yang ditulis oleh al-Ghazali meliputi bidang ilmu yang populer pada zamannya, di antaranya tentang tafsir al-Qur’an, ilmu kalam, ushul fiqh, fiqih, tasawuf, mantiq, falsafat, dan lainnya.

a.    Ihya Ulum Ad-Din (membahas ilmu-ilmu agama)

Ini merupakan kitab paling terkenal yang dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara syam, Yerussalem, Hijaz dan Yus, dan yang berisi paduan indah antara fiqh, tasawuf dan falsafat, bukan saja terkenal di kalangan kaum muslimin, tetapi juga di dunia Barat dan luar Islam.

b.    Tahafut al-Falasifah (menerangkan pendapat para filsuf ditinjau dari segi agama).

c.    Al-Munqidz min adh-Dhalal (menerangkan tujuan dan rahasia-rahasia ilmu).

Kedua kitab ini , yaitu Tahafut al-Falasifah dan Al-Munqidz min Adh-Dhalal merupakan kitab yang memuat di dalamnya tentang permasalahan adanya peperangan dari kalangan fuqaha dan tasawuf (Ibnu Rusyd), disebabkan sikap al-Ghazali yang menentang para filosof Islam, bahkan ia sampai mengkafirkan dalam tiga hal, yaitu :

                                 i.      Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.

                               ii.      Membatasi pengetahuan Tuhan kepada hal-hal yang besar saja,

                             iii.      Adanya kepercayaan tentang qadimnya alam dan keasliannya.

d.      Al-Iqtashad fi Al-‘Itiqad (inti ilmu ahli kalam),

e.       Jawahir Al-Qur’an (rahasia-rahasia yang terkandung dalam al-Qur’an),

f.       Mizan Al-‘Amal (tentang falsafah keagamaan),

Dalam buku ini, juga menyepakti bahwa persoalan yang tiga hal dalam kitab Tahafut  al-Falasifah dan Al-Munqidz min Adh-Dhalal menjadi kepercayaan orang-orang tasawuf juga. Bahkan dalam bukunya Al-Madhum ‘ala Ghairi Ahlihi, ia mengakui qadimnya alam.

g.      Al-Maqasshid Al-Asna fi Ma’ani Asma’illah Al-Husna (tentang arti nama-nama Tuhan),

h.      Faishal At-Tafriq Baina Al-Islam Wa Al-Zindiqah (perbedaan antara Islam dan Zindiq),

i.        Al-Qisthas Al-Mustaqim (jalan untuk mengatasi perselisihan pendapat).

j.        Al-Mustadhhir,

k.      Hujjat Al-Haq (dalil yang benar),

l.        Mufahil Al-Khilaf fi Ushul Ad-Din (menjauhkan perselisihan dalam masalah ushul ad-din),

m.    Kimiya As-sa’adah (menerangkan syubhat ahli ibadah),

n.      Al-Basith (fiqh),

o.      Al-Wasith (fiqh),

p.      Al-Wajiz (fiqh),

q.      Al-Khulasahah Al-Mukhtasharah (fiqh),

r.        Yaqut At-Ta’wil fi Tafsir At-Tanzil (tafsir 40 jilid),

s.       Al-Mustasfa (ushul fiqh),

t.        Al-Mankhul (ushul fiqh),

u.      Al-Muntaha fi ‘ilmi Al-Jadal (cara-cara berdebat yang baik),

v.      Mi’yar Al-‘ilmi,

w.    Al-Maqashid (yang dituju),

x.      Al-Madnun bihi ’ala Ghairi Ahlihi,

y.      Misykat Al-anwar (pelajaran keagamaan),

z.       Mahku An-Nadhar,

3.      Pemikiran Filsafat Al-Ghazali

a.          Metafisika

Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.

Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.

Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para filosof dinyatakan kafir. Hal ini akan lebih dijelaskan dalam bagian selanjutnya.

b.          Iradat Tuhan

Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.

Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.

Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api

c.         Etika

Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.

Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.

Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.

Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihya’nya yang merupakan perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya.
 
Pandangan Al-Ghazali terhadap Filsafat

Mengenai pandangan al Ghazali, para ilmuwan berpendapat bahwa ia bukan seorang filosof, karena ia menentang dan memerangi filsafat dan membuangnya. Tentangan yang di lontarkan al-Ghazali ini tercermin dari bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah, yakni sebagai berikut :

Dalam bukunya pula yang berjudul Munqiz min al-Dhalal, al-Ghazali mengelompokkan filsosof menjadi 3 (tiga) golongan:

1.    Filosof Materialis (Dhariyyun)

Mereka adalah para filosof yang menyangkal adanya Tuhan. Sementara itu, kosmos ini ada dengan sendirinya.

2.    Filosof Naturalis (Thabi’iyyun)

Mereka adala para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di alam ini. Melalui penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka untuk mengakui adanya Maha Pencipta di alam raya ini. Kendatipun demikian, mereka tetap mengingkari Allah dan Rasul-Nya dan Hari berbangkit. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa sebab mereka hanya memuaskan nafsu seperti hewan.

3.    Filosof Ke-Tuhanan (Ilahiyun)

Mereka adalah filosof Yunani, sperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles telah menyanggah pemikiran filosof sebelumnya (Materialis dan Naturalis), namun ia sendiri tidak dapat membebaskan diri dari sia-sia kekafiran dan keherodoksian. Oleh karena itu, ia sendiri termasuk orang kafir dan begitu juga al-Farabi dan Ibnu Sina yang menyebarluaskan pemikiran ini di dunia Islam.

Dalam bidang Ke-Tuhanan, al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahl al-bid’at dan kafir. Kesalahan para filosof tersebut diterangkan oleh al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, dan ia membaginya menjadi 20 bahagian, antara lain:

1.         Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini azali,

2.         Membatalkan pendapat mereka bahwa akal ini kekal,

3.         Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allah Pencipta alam semesta dan sesungguhnya alam ini diciptakan-Nya,

4.         Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan Yang Maha Pencipta,

5.         Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil adanya dua Tuhan,

6.         Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mempunyai sifat,

7.         Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi ke dalam al-jins dan al-fashl,

8.         Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi basith (simple) dan tidak mempunyai mahiyah (hakikat),

9.         Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya,

10.     Menjelaskan pernyataan mereka tentang al-dhar (kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir),

11.     Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya

12.     Menjelaskan kelemahan pendapat mereka dalam membuktikan bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya,

13.     Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui juz’iyyat,

14.     Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak dengan kemauan-Nya,

15.     Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari planet-planet,

16.     Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua yang juz’iyyat,

17.     Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu di luar hukum alam,

18.     Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar (substansi) yang berdiri sendiri tidak mempunyai tubuh,

19.     Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan tentang mustahilnya fana (lenyap) jiwa manusia,

20.     Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan dibangkitkan dan yang akan menerima kesenangan dalam surga dan kepedihan dalam nereka hanya roh. 
Kemudian al-Ghazali menjelaskan lagi, dari 20 masalah tersebut ada tiga hal yang bisa menyebabkan seorang filosof itu menjadi kafir, antara lain :

b.      Alam semesta dan semua substansi qadim.

Menurut al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim (tidak mempunyai permulaan atau tidak pernah ada) maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi, paham qadimnya alam membawa pada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya. Tidak diciptakan Tuhan dan ini berarti bertentangan dengan ajaran al-Qur’an yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya). Bagi al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam maka alam ada di samping adanya Tuhan.

uhan tidak mengetahui yang juz’iyyat (hal-hal yang terperinci/kecil) yang terjadi di alam.

Marcus Junius Brutus Caepio

Marcus Junius Brutus Caepio (85-42 SM), yang lebih dikenal sebagai Brutus, adalah seorang Senator Kota Roma (bahasa Latin: Senatus/senex yang artinya orangtua, yakni majelis perundingan kerajaan) pada akhir Republik Roma dan merupakan salah seorang pembunuh Gaius Julius Caesar (100-44 SM). Dengan penuh ironi, Brutus bersama teman-temannya sesama senator, merencanakan pembunuhan atas diri Julius Caesar. Brutus dan orang-orangnya berhasil membunuh sang kaisar dalam pembunuhan dramatik yang terjadi pada 15 Maret 44 SM yang kemudian mencetuskan perang saudara di Republik Roma. Brutus kemudian diadili oleh Senatus sebagai “pengkhianat” kerajaan.

Pada mulanya Brutus bersama senator yang lain merasa tidak puas melihat situasi dan kondisi Republik Roma di bawah kepemimpinan Julius Caesar. Sang kaisar telah menjadi diktator besar sepanjang hayat dengan menerbitkan sejumlah undang-undang yang mengukuhkan kedudukan dan kekuasaannya. Brutus yang mulanya adalah sahabat seperjuangan dan teman dekat Caesar, juga telah dihasut tentang kemungkinan Julius Caesar ditahbiskan menjadi Raja Roma dan kembalinya sistem “monarki absolut” di Republik Roma. Para senator, yang konon berjumlah 23 orang dihasut untuk membunuh sang kaisar. Brutus pun terprovokasi hasutan temannya yang memiliki rasa dengki, cemburu, dan hawa nafsu untuk meraih kedudukan dan kekuasaan dari tangan Julius Caesar. Dia sangat memercayai cerita dan gosip murahan tentang Caesar, walaupun pada 15 Februari 44 SM dalam satu upacara umum, Caesar enggan menerima diadem (lambang monarki kuno) dari Marcus Antonius (83-30 SM), ahli politik dan jenderal Roma serta orang kepercayaan Caesar.

Ada dengki, jealous , dan perasaan tidak senang lainnya bercampur aduk dalam diri di antara orang-orang di sekitar “ring satu” Republik Roma. Dan, Brutus pun mulai berkomplot dengan sahabat dan adik iparnya, Gaius Cassius Longinus (85-42 SM), serta orang lain di antara mereka dengan menyebut kelompoknya sebagai Liberatores (pembebas).

Sekumpulan senator yang menentang kepemimpinan Julius Caesar merencanakan untuk menjemput sang kaisar ke suatu forum majelis perundingan kerajaan, untuk dipaksa membaca petisi palsu yang ditulis para senator itu. Petisi tersebut meminta Julius Caesar mengembalikan mandat kekuasaannya kepada Senatus . Ketika mengetahui akal bulus dan siasat para senator pengkhianat itu, Marcus Antonius mencoba menghalangi sang kaisar di tangga forum untuk mengabaikan tuntutan para senator pembelot. Akan tetapi, para senator itu berhasil menghalangi Caesar ketika hendak melewati Teater Pompey dan menggiringnya ke sudut ruangan yang bersebelahan dengan porsio timur.

Nasib Caesar tampaknya telah ditetapkan berakhir tragis. Ia berada di tengah lingkaran para “pengkhianat” (yang selanjutnya disebut “Brutus”) dan di antara para senator yang terdiri dari 60 orang dengan pisau belati yang tersembunyi di balik toga kebesaran Senatus Republik Roma. Kedengkian, kebencian, dan jealous tak tepermanai telah merasuk darah para negarawan Roma ini. Hasrat meraih kekuasaan dan hawa nafsu mereka tak terbendung. Keinginan untuk segera menggenggam kekuasaan telah “membutatulikan” logos para Senatus

Para pengkhianat atau “komplotan Brutus” ini kemudian kalap. Saat Julius Caesar sedang membaca dokumen petisi palsu di atas mimbar, salah seorang senator bernama Publius Servilius Casca menarik lengan sang kaisar, lalu menikam lehernya dengan sebilah belati. Tindakan Senator Casca membunuh Caesar ini kemudian diikuti oleh sekitar 23 senator lainnya yang berkomplot melakukan coup d’état . Sang kaisar mencoba menghindar dan meloloskan diri dari percobaan pembunuhan. Namun sayang, ia terhempas jatuh berlumuran “darah pengkhianatan”. Dia tersandung jatuh, tanpa daya, karena tikaman belati bertubi-tubi ke sekujur tubuh kekarnya. Dan dia pun ambruk ke lantai ruang majelis perundingan kerajaan yang tak jauh dari singgasana Republik Roma. Julius Caesar kemudian dibunuh para “Brutus” ketika terbaring tanpa daya untuk mempertahankan diri. Sang pahlawan legendaris Republik Roma ini menghembuskan nafas terakhirnya di bawah patung Pompey, di tempat yang terhormat dengan penuh kemuliaan.

Di saat terakhir Julius Caesar menarik nafas kehidupannya, ia masih sempat berkata simpatik kepada sahabatnya, Brutus sang pengkhianat: “ Tu quoque, Brute, fili mi ” (Engkau juga, Brutus, anakku?) atau “ Et tu, Brute ” (Dan engkau [juga], Brutus?). Caesar sadar (di saat-saat terakhirnya), bahwa sahabat karibnya telah mengkhianatinya secara sadis! Dalam drama berjudul Julius Caesar karya William Shakespeare (1564-1616), Suetonius menyatakan bahwa Julius Caesar berkata dalam bahasa Yunani, yang ditransliterasikan sebagai “ Kaí sú, téknon ?” (Engkau juga, anakku?).

Setelah tragedi pembunuhan itu, para senator meninggalkan gedung majelis seraya bertindak seperti demagog, dan Brutus bersorak kepada masyarakat Kota Roma, “Hai rakyat Roma, kita bebas sekali lagi!” Di saat yang sama, mayat Caesar yang membujur kaku di ruang majelis diangkat para abdi istana untuk diserahkan kepada sang istri terkasih, Calpurnia. Brutus lalu mendapat atribut dalam sebuah frasa “ Sic semper tyrannis! ” ( Thus always to tytants! ), untuk pendengki dan pengkhianat, selamanya.

Akibat kematian Caesar, para konspirator berkuasa dan menaklukkan provinsi-provinsi di Timur. Sementara itu mereka membiarkan tiga rekan dekat Caesar memerintah di Barat. Tiga orang ini adalah Marcus Antonius atau Mark Antony, seorang jenderal; Octavianus, keponakan Caesar yang masih berusia 19 tahun; dan Lepidus. Setelah mengumpulkan kekuatan, mereka menyerang para Republikan di Timur, dan berhasil menang di Filipi (42 SM). Setelah mengambilalih kekuasaan, mereka membagi-bagi wilayah: Octavianus di Barat termasuk Italia, Marcus Antonius di Timur termasuk Mesir, dan Lepidus di Afrika Utara selain Mesir.

Seperti dilukiskan oleh film-film Hollywood, Marcus Antonius jatuh cinta pada Cleopatra, dan semakin tergantung padanya (terutama dalam hal pasukan tempur dan dana). Awalnya triumvirat ini bersinergi dengan baik, namun terjadi titik balik: Antonius yang seorang jenderal handal mengalami kekalahan besar di Parthia, sedangkan Octavian yang masih hijau makin populer setelah menang dimana-mana, berkat kehandalan jenderalnya Marcus Agrippa. Perang tak terelakkan; keduanya berperang di Actium (31 SM), dan di perang yang menentukan ini, Octavian menang. Marcus Antonius yang kalah lari ke Alexandria, dan bunuh diri bersama Cleopatra.

Kini Octavian menjadi penguasa tunggal, dan ia melaksanakan strategi pemerintahan baru: sistem republik direstorasi sedangkan elemen monarkis disembunyikan sebisa-bisanya. Akibatnya adalah sistem militeris diktator dengan bayangan republik, yang bertahan ratusan tahun.

gaius julius caesar

Gaius Julius Caesar 

 Diktator Republik Romawi

 

 (Latin: C·IVLIVS·C·F·C·N·CAESAR¹) (13 Juli 100 SM15 Maret 44 SM) adalah seorang pemimpin militer dan politikus Romawi yang kekuasaannya terhadap Gallia Comata memperluas dunia Romawi hingga Oceanus Atlanticus, melancarkan serangan Romawi pertama ke Britania, dan memperkenalkan pengaruh Romawi terhadap Gaul (Perancis kini), sebuah pencapaian yang akibat langsungnya masih terlihat hingga kini.

Julius Caesar bertarung dan memenangkan sebuah perang saudara yang menjadikannya penguasa terhebat dunia Romawi, dan memulai reformasi besar-besaran terhadap masyarakat dan pemerintah Romawi. Dia menjadi diktator seumur hidup, dan memusatkan pemerintahan yang makin melemah dalam republik tersebut.

Caesar meninggal dunia pada 15 Maret 44 SM akibat ditusuk hingga mati oleh Marcus Junius Brutus dan beberapa senator Romawi. Aksi pembunuhan terhadapnya pada hari Idi Maret tersebut menjadi pemicu perang saudara kedua yang menjadi akhir Republik Romawi dan awal Kekaisaran Romawi di bawah kekuasaan cucu lelaki dan putra angkatnya, Kaisar Augustus.

Kampanye militer Julius Caesar diketahui secara mendetil melalui tulisannya sendiri Kumpulan Komentar (Commentarii), dan banyak dari kisah hidupnya yang direkam sejarawan seperti Gaius Suetonius Tranquillus, Mestrius Plutarch, dan Lucius Cassius Dio.

 Julius Caesar

•Bangsawan di Patricia, pemimpin pasukan dan Kaisar Romawi

•Menulis Commentarie, isinya mengenai keberhasilan dirinya dan jalannya perang pada penaklukkan Gaul

•Narasi dan deskripsi di dalam cerita yang ia tulis bagus

•Ia terikat pada penolakannya kepada sistem Republik Romawi dan kepantasan dirinya menjadi penguasa

•Cara pandangnya ada pada pemikiran filosofi yang dianut di Romawi

 Karya yang dihasilkan

Caesar chronicled his most famous campaign, the subjugation of Gaul in the fifties BC, in his Commentarii de Bello Gallico. This work consists of eight books, seven by Caesar and one by his lieutenant Aulus Hirtius, who speaks with Iulia Pauli in this episode of Forum Romanum. In the interview, Hirtius passes along many of Caesar’s observations on the appearance and customs of the Gauls. Their ferocity, long hair and unusual diet, along with reports that their druid priests engaged in human sacrifice, made them barbarians in the eyes of the Romans – watch for Scirtus Agitator’s contemptous treatment of the Gallic prisoners he encounters in the Forum!

Commentarie atau Kumpulan Komentar adalah karya paling fenomenal dari seorang Julius Caesar. Karya yang mengangkat citra dirinya itu menceritakan tentang usaha penaklukannya ke Gaul. Cara dia menceritakan peristiwa tersebut dari segi deskripsi militer dan narasi cerita, deskripsi mengenai orang – orang Prancis dan jerman di Gaul dan analisis tentang perperangan diakui oleh para ilmuwan dan para ahli modern yang berkaitan dengan tulisannya. Karena sebuah karya “pembelaan dan narsis”, tidak salah kalau isinya lebih banyak mengenai kemenangan-kemenangan pribadinya. Dalam segi sastra, karyanya tidak terlalu hiperbolis. Lengkap sudah ia sebagai pelaku dan penulis sejarah.