Marcus Junius Brutus Caepio
Marcus Junius Brutus Caepio (85-42 SM),
yang lebih dikenal sebagai Brutus, adalah seorang Senator Kota Roma
(bahasa Latin: Senatus/senex yang artinya orangtua, yakni majelis
perundingan kerajaan) pada akhir Republik Roma dan merupakan salah
seorang pembunuh Gaius Julius Caesar (100-44 SM). Dengan penuh ironi,
Brutus bersama teman-temannya sesama senator, merencanakan pembunuhan
atas diri Julius Caesar. Brutus dan orang-orangnya berhasil membunuh
sang kaisar dalam pembunuhan dramatik yang terjadi pada 15 Maret 44 SM
yang kemudian mencetuskan perang saudara di Republik Roma. Brutus
kemudian diadili oleh Senatus sebagai “pengkhianat” kerajaan.
Pada mulanya Brutus bersama senator yang
lain merasa tidak puas melihat situasi dan kondisi Republik Roma di
bawah kepemimpinan Julius Caesar. Sang kaisar telah menjadi diktator
besar sepanjang hayat dengan menerbitkan sejumlah undang-undang yang
mengukuhkan kedudukan dan kekuasaannya. Brutus yang mulanya adalah
sahabat seperjuangan dan teman dekat Caesar, juga telah dihasut tentang
kemungkinan Julius Caesar ditahbiskan menjadi Raja Roma dan kembalinya
sistem “monarki absolut” di Republik Roma. Para senator, yang konon
berjumlah 23 orang dihasut untuk membunuh sang kaisar. Brutus pun
terprovokasi hasutan temannya yang memiliki rasa dengki, cemburu, dan
hawa nafsu untuk meraih kedudukan dan kekuasaan dari tangan Julius
Caesar. Dia sangat memercayai cerita dan gosip murahan tentang Caesar,
walaupun pada 15 Februari 44 SM dalam satu upacara umum, Caesar enggan
menerima diadem (lambang monarki kuno) dari Marcus Antonius (83-30 SM),
ahli politik dan jenderal Roma serta orang kepercayaan Caesar.
Ada dengki, jealous , dan perasaan tidak
senang lainnya bercampur aduk dalam diri di antara orang-orang di
sekitar “ring satu” Republik Roma. Dan, Brutus pun mulai berkomplot
dengan sahabat dan adik iparnya, Gaius Cassius Longinus (85-42 SM),
serta orang lain di antara mereka dengan menyebut kelompoknya sebagai
Liberatores (pembebas).
Sekumpulan senator yang menentang
kepemimpinan Julius Caesar merencanakan untuk menjemput sang kaisar ke
suatu forum majelis perundingan kerajaan, untuk dipaksa membaca petisi
palsu yang ditulis para senator itu. Petisi tersebut meminta Julius
Caesar mengembalikan mandat kekuasaannya kepada Senatus . Ketika
mengetahui akal bulus dan siasat para senator pengkhianat itu, Marcus
Antonius mencoba menghalangi sang kaisar di tangga forum untuk
mengabaikan tuntutan para senator pembelot. Akan tetapi, para senator
itu berhasil menghalangi Caesar ketika hendak melewati Teater Pompey dan
menggiringnya ke sudut ruangan yang bersebelahan dengan porsio timur.
Nasib Caesar tampaknya telah ditetapkan
berakhir tragis. Ia berada di tengah lingkaran para “pengkhianat” (yang
selanjutnya disebut “Brutus”) dan di antara para senator yang terdiri
dari 60 orang dengan pisau belati yang tersembunyi di balik toga
kebesaran Senatus Republik Roma. Kedengkian, kebencian, dan jealous tak
tepermanai telah merasuk darah para negarawan Roma ini. Hasrat meraih
kekuasaan dan hawa nafsu mereka tak terbendung. Keinginan untuk segera
menggenggam kekuasaan telah “membutatulikan” logos para Senatus
Para pengkhianat atau “komplotan Brutus”
ini kemudian kalap. Saat Julius Caesar sedang membaca dokumen petisi
palsu di atas mimbar, salah seorang senator bernama Publius Servilius
Casca menarik lengan sang kaisar, lalu menikam lehernya dengan sebilah
belati. Tindakan Senator Casca membunuh Caesar ini kemudian diikuti oleh
sekitar 23 senator lainnya yang berkomplot melakukan coup d’état . Sang
kaisar mencoba menghindar dan meloloskan diri dari percobaan
pembunuhan. Namun sayang, ia terhempas jatuh berlumuran “darah
pengkhianatan”. Dia tersandung jatuh, tanpa daya, karena tikaman belati
bertubi-tubi ke sekujur tubuh kekarnya. Dan dia pun ambruk ke lantai
ruang majelis perundingan kerajaan yang tak jauh dari singgasana
Republik Roma. Julius Caesar kemudian dibunuh para “Brutus” ketika
terbaring tanpa daya untuk mempertahankan diri. Sang pahlawan legendaris
Republik Roma ini menghembuskan nafas terakhirnya di bawah patung
Pompey, di tempat yang terhormat dengan penuh kemuliaan.
Di saat terakhir Julius Caesar menarik
nafas kehidupannya, ia masih sempat berkata simpatik kepada sahabatnya,
Brutus sang pengkhianat: “ Tu quoque, Brute, fili mi ” (Engkau juga,
Brutus, anakku?) atau “ Et tu, Brute ” (Dan engkau [juga], Brutus?).
Caesar sadar (di saat-saat terakhirnya), bahwa sahabat karibnya telah
mengkhianatinya secara sadis! Dalam drama berjudul Julius Caesar karya
William Shakespeare (1564-1616), Suetonius menyatakan bahwa Julius
Caesar berkata dalam bahasa Yunani, yang ditransliterasikan sebagai “
Kaí sú, téknon ?” (Engkau juga, anakku?).
Setelah tragedi pembunuhan itu, para
senator meninggalkan gedung majelis seraya bertindak seperti demagog,
dan Brutus bersorak kepada masyarakat Kota Roma, “Hai rakyat Roma, kita
bebas sekali lagi!” Di saat yang sama, mayat Caesar yang membujur kaku
di ruang majelis diangkat para abdi istana untuk diserahkan kepada sang
istri terkasih, Calpurnia. Brutus lalu mendapat atribut dalam sebuah
frasa “ Sic semper tyrannis! ” ( Thus always to tytants! ), untuk
pendengki dan pengkhianat, selamanya.
Akibat kematian Caesar, para konspirator
berkuasa dan menaklukkan provinsi-provinsi di Timur. Sementara itu
mereka membiarkan tiga rekan dekat Caesar memerintah di Barat. Tiga
orang ini adalah Marcus Antonius atau Mark Antony, seorang jenderal;
Octavianus, keponakan Caesar yang masih berusia 19 tahun; dan Lepidus.
Setelah mengumpulkan kekuatan, mereka menyerang para Republikan di
Timur, dan berhasil menang di Filipi (42 SM). Setelah mengambilalih
kekuasaan, mereka membagi-bagi wilayah: Octavianus di Barat termasuk
Italia, Marcus Antonius di Timur termasuk Mesir, dan Lepidus di Afrika
Utara selain Mesir.
Seperti dilukiskan oleh film-film
Hollywood, Marcus Antonius jatuh cinta pada Cleopatra, dan semakin
tergantung padanya (terutama dalam hal pasukan tempur dan dana). Awalnya
triumvirat ini bersinergi dengan baik, namun terjadi titik balik:
Antonius yang seorang jenderal handal mengalami kekalahan besar di
Parthia, sedangkan Octavian yang masih hijau makin populer setelah
menang dimana-mana, berkat kehandalan jenderalnya Marcus Agrippa. Perang
tak terelakkan; keduanya berperang di Actium (31 SM), dan di perang
yang menentukan ini, Octavian menang. Marcus Antonius yang kalah lari ke
Alexandria, dan bunuh diri bersama Cleopatra.
Kini Octavian menjadi penguasa tunggal,
dan ia melaksanakan strategi pemerintahan baru: sistem republik
direstorasi sedangkan elemen monarkis disembunyikan sebisa-bisanya.
Akibatnya adalah sistem militeris diktator dengan bayangan republik,
yang bertahan ratusan tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar