CICAK VS BUAYA
Latar belakang
Bermula pada draf Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor) yang diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada akhir Juli 2008. kasus Antasari Azhar beberapa kalangan mulai merasakan bahwa KPK mulai digembosi oleh berbagai pihak[ dengan mulai menyudutkan KPK antara lain pernyatakan Ahmad Fauzi seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta agar KPK dibubarkan saja Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) meminta KPK agar libur saja dan tidak mengambil keputusan atau
melakukan memproses penyelidikan korupsi sehubungan status salah satu
ketuanya dalam hal ini Antasari Azhar , pada 24 Juni 2009, Susilo Bambang Yudhoyono ikut mengatakan bahwa KPK power must not go uncheck. KPK ini sudah powerholder yang luar biasa diikuti pula pernyataan Susno Duadji yang mengatakan bahwa ibaratnya, polisi buaya KPK cicak. Cicak (KPK) kok melawan buaya (Polisi) ,
dan pernyataan Dewi Asmara, Ketua Panitia Khusus RUU Pengadilan tindak
pidana korupsi (tipikor) mengatakan bahwa tidak akan meminta pemerintah
mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang undang (perppu)
jika RUU Pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) gagal disahkan maka
peradilan tindak pidana korupsi (tipikor) akan dikembalikan ke
Pengadilan Umum atau pengadilan Tipikor akan dikembalikan ke pengadilan
umum padahal masa sidang yang tersisa sampai dengan 30 September 2009 atau sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 setelah tenggat waktu jatuh pada 19 Desember 2009
pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) akan bubar dengan sendirinya
dan peradilan tindak pidana korupsi (tipikor) akan dikembalikan ke
pengadilan umum.
Pernyataan Susno Duadji, Komjen Pol, Kabareskrim Mabes Polri bahwa ...cicak kok mau melawan buaya...." [4] merupakan pemantik konfrontasi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dituduh
melakukan penyadapan terhadap telepon seluler Susno Duadji yang
terindikasi dengan isu uang Rp 10.000.000.000 dan terdapat kaitan atas
penanganan kasus Bank Century [15], sedangkan dari pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjawab bahwa sistem penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
adalah lawful interception. Itu digunakan untuk penegakan hukum dan
kalau merasa ada yang tersadap dan punya masalah dengan itu, datang saja
ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).... dan berkaitan dengan kasus Bank Century, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru akan melakukan proses penyelidikan setelah adanya hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sedangkan usulan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berkaitan dengan Bank Century yang diajukan oleh sejumlah anggota secara resmi akan dibahas di Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tanggal 1 Desember 2009
Kronologi
bermula dari penangkapan ketua KPK Antasari Azhar karena kasus
pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen.
Dalam penjara, Antasari Azhar membuat testimoni tentang adanya
penerimaan uang sebesar Rp 6,7 miliar dari Direktur PT. Masaro Anggoro
Widjaja oleh sejumlah pimpinan KPK yang saat itu Anggoro menjadi
tersangka korupsi adanya pengadaan alat Sistem Komunikasi Radio Terpadu
(SKRT) dan kemudian setelah dilakukan pemeriksaan berkas-berkas di
kantornya muncul dugaan adanya penyuapan yang dilakukan oleh Anggoro
untuk mendapatkan proyek dari Departemen Kehutanan mengenai pengadaan
alat Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT). Anggoro diduga menyuap
Yusuf Erwin Faisal, mantan ketua Komisi IV DPR RI sebanyak 60.000 dollar
Singapura dan Rp 75 juta yang kemudian Yusuf ditahan pada tanggal 16
Juli 2008 dan Anggoro djadikan tersangka oleh Polri pada tanggal 24 Juni
2009. Dalam testimoni tersebut juga terungkap bahwa Antasari Azhar
pernah menemui Anggoro di Singapura pada tanggal 10 Oktober 2008,
padahal ketika itu status Anggoro adalah dicekal oleh KPK. Dalam
pertemuannya dengan Antasari Azhar, Anggoro mengaku telah mengeluarkan
milyaran Rupiah atas permintaan sejumlah pimpinan KPK.
Karena
merasa testimoninya tidak ditanggapi oleh Polisi, Antasari secara resmi
melaporkan dugaan suap terhadap pimpinan KPK terkait kasus yang
melibatkan PT Masaro ke Polda Metro Jaya. Kemudian testimony tersebut
beredar di media masa dan secara serempak tiga pimpinan KPK yang lain
menolak adanya testimony yang menyebutkan mereka menerima suap sebesar
6,7 miliar dari Anggoro. Pada tanggal 9 Agustus Polri menangkap Ari
Muladi terkait penerimaan dana dari PT Masaro. Dia dikenai pasal
penipuan dan penggelapan. Ari awalnya mengaku sebagai orang yang
memberikan suap ke pimpinan KPK,
namun kemudian Ary Mulyadi mencabut pengakuannya dan menyatakan tidak
pernah memberikan uang ke pimpinan KPK, tapi menyerahkannya ke pengusaha
bernama Yulianto yang mengaku kenal dengan orang KPK. Pengakuan
sebelumnya dibuat karena adanya pesanan dengan jaminan dirinya tidak
akan ditahan.
Pada
tanggal 3 September Polri memanggil empat pimpinan KPK (Chandra M
Hamzah, Bibit Samad Rianto, M Jasin dan Haryono Umar) dan empat pejabat
lainnya terkait testimoni Antasari, namun KPK tidak penuhi panggilan
Polri. Polisi memperoleh fakta
adanya tindak pidana penyalahgunaan wewenang oleh dua pimpinan KPK,
yaitu Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah terkait pencekalan dan
pencabutan cekal yang tidak dilakukan secara kolektif. Chandra mencekal
Anggoro, Bibit mencekal Joko Tjandra, lalu Chandra mencabut pencekalan
terhadap Joko Tjandra. Pada tanggal 15 September 2009 Polisi
menetapkan Bibit dan Chandra sebagai tersangka, Pasal penyalahgunaan
wewenang dan pemerasan disangkakan pada keduanya. Namun keduanya hanya
dikenakan wajib lapor.
Disinilah
perselisihan antara KPK dan Polri dimulai, berawal dari pengakuan
Kabareskrim Mabes Polri, Komjen. Susno Duadji yang merasa teleponnya
disadap oleh lembaga penegak hukum lain (KPK). Dirinya merasa seperti
itu karena namanya dikaitkan dengan kasus Bank Century. Namun pihak KPK
menyatakan bahwa penyadapan dilakukan hanya kepada orang yang
terindikasi melakukan korupsi, dan ketika itu tepatnya tanggal 9
September 2009 salah satu petinggi KPK mengaku KPK sedang memeriksa
adanya dugaan korupsi terhadap salah satu petinggi Polri. Pada suatu
kesempatan, ketika dirinya diwawancara oleh wartawan Tempo, Susno Duadji
mengatakan bahwa “Masa cicak kok mau melawan buaya”, kalimat itulah
yang sampai sekarang dikenal dengan istilah Cicak melawan Buaya,
menggambarkan dua kekuatan penegak hukum yaitu KPK vs Polisi. Kemudian
kondisi tersebut diperparah dengan adanya pengakuan Kuasa
hukum KPK Bambang Widjajanto, yang merasa tidak menerima salinan Bukti
Acara Pemeriksaan Bibit-Chandra dan curiga ada rekayasa dalam kasus ini.
Pada tanggal 29 Oktober, dua pimpinan KPK yaitu Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto ditangkap. Keduanya ditahan
di Markas Komando Brimob Kelapa Dua Depok. Polisi menilai kedua
tersangka melakukan tindakan mempersulit jalannya pemeriksaan dengan
menggiring opini publik melalui pernyataan-pernyataan di media serta
forum diskusi. Beberapa hari sebelumnya, Transkrip rekaman rekayasa
kriminalisasi KPK beredar di media massa. Isinya adalah percakapan
antara Anggodo (adik Anggoro) dengan mantan Jamintel Wisnu Subroto dan
Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga. Percakapan pada bulan
Juli-Agustus 2009 itu disebut-sebut merancang kriminalisasi KPK, yang
kemudian diperdengarkan kembali dalam sidang Mahkamah Konstitusi.
Pada
2 November 2009, Presiden SBY bentuk Tim Delapan (Tim Independen
Klarifikasi Fakta dan Proses Hukum Kasus Bbibt dan Chandra) yang
diketuai oleh Adnan Buyung Nasution. Anggota tim adalah: mantan anggota
Komnas HAM Koesparmono Irsan, staf khusus Presiden bidang hukum Denny
Indrayana, mantan Dekan FHUI Hikmahanto Juwana, Rektor Universitas
Paramadina Anies Baswedan, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta
Komaruddin Hidayat dan Ketua Departemen Hukum Partai Demokrat Amir
Syamsudin. Setelah melakukan peyelidikan, Tim Delapan merekomendasikan 3
hal yaitu yaitu penangguhan penahanan Bibit dan Chandra,
pembebastugasan Susno, dan penahanan Anggodo Widjojo.
Akhirnya setelah merekomendasikan tiga hal tersebut, penangguhan
penahanan terhadap Bibit dan Candra dilakukan dan ketiganya bebas pada
tanggal 3 November dini hari dan Polri melakukan pemeriksaan terhadap
Anggodo Widjojo terkait rekaman pembicaraannya dengan sejumlah petinggi
Polri dan Kejagung, dilanjutkan dengan keputusan Kabareskrim Polri Susno
Duadji dan Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga untuk mengundurkan
diri dari jabatannya.
Tindakan presiden Susilo Bambang Yudhoyono
mengenai pembentukan tim Delapan sebagai tim yang independen untuk
mempereoleh fakta dan merekomendasikan tindakan yang akan diambil oleh
Presiden. Saya mendukung penuh tindakan Presiden SBY yang tidak
mencampuri permasalah dengan politik, karena memang permasalahan ini
adalah permasalahan tindak pidana, jadi harus diselesaikan sesuai
relnya, dan karena permasalahan hukum tidak bisa dicampuri dengan
masalah politik karena keduanya mempunyai lahan dan fungsinya
masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar