Senin, 11 Januari 2016

CICAK VS BUAYA

Latar belakang

 Hasil gambar untuk cicak vs buaya

Bermula pada draf Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor) yang diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada akhir Juli 2008.  kasus Antasari Azhar beberapa kalangan mulai merasakan bahwa KPK mulai digembosi oleh berbagai pihak[ dengan mulai menyudutkan KPK antara lain pernyatakan Ahmad Fauzi seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta agar KPK dibubarkan saja  Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta KPK agar libur saja dan tidak mengambil keputusan atau melakukan memproses penyelidikan korupsi sehubungan status salah satu ketuanya dalam hal ini Antasari Azhar , pada 24 Juni 2009, Susilo Bambang Yudhoyono ikut mengatakan bahwa KPK power must not go uncheck. KPK ini sudah powerholder yang luar biasa diikuti pula pernyataan Susno Duadji yang mengatakan bahwa ibaratnya, polisi buaya KPK cicak. Cicak (KPK) kok melawan buaya (Polisi) , dan pernyataan Dewi Asmara, Ketua Panitia Khusus RUU Pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) mengatakan bahwa tidak akan meminta pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang undang (perppu) jika RUU Pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) gagal disahkan maka peradilan tindak pidana korupsi (tipikor) akan dikembalikan ke Pengadilan Umum atau pengadilan Tipikor akan dikembalikan ke pengadilan umum  padahal masa sidang yang tersisa sampai dengan 30 September 2009 atau sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 setelah tenggat waktu jatuh pada 19 Desember 2009 pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) akan bubar dengan sendirinya dan peradilan tindak pidana korupsi (tipikor) akan dikembalikan ke pengadilan umum.

Pernyataan Susno Duadji, Komjen Pol, Kabareskrim Mabes Polri bahwa ...cicak kok mau melawan buaya...." [4] merupakan pemantik konfrontasi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dituduh melakukan penyadapan terhadap telepon seluler Susno Duadji yang terindikasi dengan isu uang Rp 10.000.000.000 dan terdapat kaitan atas penanganan kasus Bank Century [15], sedangkan dari pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjawab bahwa sistem penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lawful interception. Itu digunakan untuk penegakan hukum dan kalau merasa ada yang tersadap dan punya masalah dengan itu, datang saja ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)....  dan berkaitan dengan kasus Bank Century, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru akan melakukan proses penyelidikan setelah adanya hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sedangkan usulan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berkaitan dengan Bank Century yang diajukan oleh sejumlah anggota secara resmi akan dibahas di Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tanggal 1 Desember 2009

 

Kronologi bermula dari penangkapan ketua KPK Antasari Azhar karena kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Dalam penjara, Antasari Azhar membuat testimoni tentang adanya penerimaan uang sebesar Rp 6,7 miliar dari Direktur PT. Masaro Anggoro Widjaja oleh sejumlah pimpinan KPK yang saat itu Anggoro menjadi tersangka korupsi adanya pengadaan alat Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) dan kemudian setelah dilakukan pemeriksaan berkas-berkas di kantornya muncul dugaan adanya penyuapan yang dilakukan oleh Anggoro untuk mendapatkan proyek dari Departemen Kehutanan mengenai pengadaan alat Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT). Anggoro diduga menyuap Yusuf Erwin Faisal, mantan ketua Komisi IV DPR RI sebanyak 60.000 dollar Singapura dan Rp 75 juta yang kemudian Yusuf ditahan pada tanggal 16 Juli 2008 dan Anggoro djadikan tersangka oleh Polri pada tanggal 24 Juni 2009. Dalam testimoni tersebut juga terungkap bahwa Antasari Azhar pernah menemui Anggoro di Singapura pada tanggal 10 Oktober 2008, padahal ketika itu status Anggoro adalah dicekal oleh KPK. Dalam pertemuannya dengan Antasari Azhar, Anggoro mengaku telah mengeluarkan milyaran Rupiah atas permintaan sejumlah pimpinan KPK.

Karena merasa testimoninya tidak ditanggapi oleh Polisi, Antasari secara resmi melaporkan dugaan suap terhadap pimpinan KPK terkait kasus yang melibatkan PT Masaro ke Polda Metro Jaya. Kemudian testimony tersebut beredar di media masa dan secara serempak tiga pimpinan KPK yang lain menolak adanya testimony yang menyebutkan mereka menerima suap sebesar 6,7 miliar dari Anggoro. Pada tanggal 9 Agustus Polri menangkap Ari Muladi terkait penerimaan dana dari PT Masaro. Dia dikenai pasal penipuan dan penggelapan. Ari awalnya mengaku sebagai orang yang memberikan suap ke pimpinan KPK, namun kemudian Ary Mulyadi mencabut pengakuannya dan menyatakan tidak pernah memberikan uang ke pimpinan KPK, tapi menyerahkannya ke pengusaha bernama Yulianto yang mengaku kenal dengan orang KPK. Pengakuan sebelumnya dibuat karena adanya pesanan dengan jaminan dirinya tidak akan ditahan.

Pada tanggal 3 September Polri memanggil empat pimpinan KPK (Chandra M Hamzah, Bibit Samad Rianto, M Jasin dan Haryono Umar) dan empat pejabat lainnya terkait testimoni Antasari, namun KPK tidak penuhi panggilan Polri. Polisi memperoleh fakta adanya tindak pidana penyalahgunaan wewenang oleh dua pimpinan KPK, yaitu Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah terkait pencekalan dan pencabutan cekal yang tidak dilakukan secara kolektif. Chandra mencekal Anggoro, Bibit mencekal Joko Tjandra, lalu Chandra mencabut pencekalan terhadap Joko Tjandra. Pada tanggal 15 September 2009 Polisi menetapkan Bibit dan Chandra sebagai tersangka, Pasal penyalahgunaan wewenang dan pemerasan disangkakan pada keduanya. Namun keduanya hanya dikenakan wajib lapor.

Disinilah perselisihan antara KPK dan Polri dimulai, berawal dari pengakuan Kabareskrim Mabes Polri, Komjen. Susno Duadji yang merasa teleponnya disadap oleh lembaga penegak hukum lain (KPK). Dirinya merasa seperti itu karena namanya dikaitkan dengan kasus Bank Century. Namun pihak KPK menyatakan bahwa penyadapan dilakukan hanya kepada orang yang terindikasi melakukan korupsi, dan ketika itu tepatnya tanggal 9 September 2009 salah satu petinggi KPK mengaku KPK sedang memeriksa adanya dugaan korupsi terhadap salah satu petinggi Polri. Pada suatu kesempatan, ketika dirinya diwawancara oleh wartawan Tempo, Susno Duadji mengatakan bahwa “Masa cicak kok mau melawan buaya”, kalimat itulah yang sampai sekarang dikenal dengan istilah Cicak melawan Buaya, menggambarkan dua kekuatan penegak hukum yaitu KPK vs Polisi. Kemudian kondisi tersebut diperparah dengan adanya pengakuan Kuasa hukum KPK Bambang Widjajanto, yang merasa tidak menerima salinan Bukti Acara Pemeriksaan Bibit-Chandra dan curiga ada rekayasa dalam kasus ini.

Pada tanggal 29 Oktober, dua pimpinan KPK yaitu Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto ditangkap. Keduanya ditahan di Markas Komando Brimob Kelapa Dua Depok. Polisi menilai kedua tersangka melakukan tindakan mempersulit jalannya pemeriksaan dengan menggiring opini publik melalui pernyataan-pernyataan di media serta forum diskusi. Beberapa hari sebelumnya, Transkrip rekaman rekayasa kriminalisasi KPK beredar di media massa. Isinya adalah percakapan antara Anggodo (adik Anggoro) dengan mantan Jamintel Wisnu Subroto dan Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga. Percakapan pada bulan Juli-Agustus 2009 itu disebut-sebut merancang kriminalisasi KPK, yang kemudian diperdengarkan kembali dalam sidang Mahkamah Konstitusi.

Pada 2 November 2009, Presiden SBY bentuk Tim Delapan (Tim Independen Klarifikasi Fakta dan Proses Hukum Kasus Bbibt dan Chandra) yang diketuai oleh Adnan Buyung Nasution. Anggota tim adalah: mantan anggota Komnas HAM Koesparmono Irsan, staf khusus Presiden bidang hukum Denny Indrayana, mantan Dekan FHUI Hikmahanto Juwana, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Komaruddin Hidayat dan Ketua Departemen Hukum Partai Demokrat Amir Syamsudin. Setelah melakukan peyelidikan, Tim Delapan merekomendasikan 3 hal yaitu yaitu penangguhan penahanan Bibit dan Chandra, pembebastugasan Susno, dan penahanan Anggodo Widjojo.

Akhirnya setelah merekomendasikan tiga hal tersebut, penangguhan penahanan terhadap Bibit dan Candra dilakukan dan ketiganya bebas pada tanggal 3 November dini hari dan Polri melakukan pemeriksaan terhadap Anggodo Widjojo terkait rekaman pembicaraannya dengan sejumlah petinggi Polri dan Kejagung, dilanjutkan dengan keputusan Kabareskrim Polri Susno Duadji dan Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga untuk mengundurkan diri dari jabatannya.

 Tindakan presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai pembentukan tim Delapan sebagai tim yang independen untuk mempereoleh fakta dan merekomendasikan tindakan yang akan diambil oleh Presiden. Saya mendukung penuh tindakan Presiden SBY yang tidak mencampuri permasalah dengan politik, karena memang permasalahan ini adalah permasalahan tindak pidana, jadi harus diselesaikan sesuai relnya, dan karena permasalahan hukum tidak bisa dicampuri dengan masalah politik karena keduanya mempunyai lahan dan fungsinya masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar