Kasus penyuapan sengketa Pilkada AKIL MOCHTAR
Dr. H. M. Akil Mochtar , S.H., M.H. (lahir di Putussibau, Kalimantan Barat, 18 Oktober 1960; umur 55 tahun) adalah Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia periode 2013 dan Hakim Konstitusi
periode 2008-2013. Sebelumnya ia pernah menjabat sebagai anggota DPR RI
periode 1999-2004, dan kemudian terpilih lagi untuk periode 2004-2009,
juga sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR RI (bidang hukum,
perundang-undangan, HAM dan keamanan) periode 2004-2006. Akil bergabung menjadi Hakim Konstitusi pada tahun 2008, dan terpilih
sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi pada bulan April 2013 menggantikan Mahfud MD. Namun karena terbukti terlibat dan menjadi tersangka dalam kasus penyuapan sengketa Pilkada Kabupaten Lebak Banten, dia diberhentikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 5 Oktober 2013.
Pada saat melakukan penggeledahan di ruang kerja Akil di gedung Mahkamah Konstitusi, penyidik KPK menemukan narkoba dan obat kuat. Barang bukti itu langsung diserahkan ke pihak kepolisian dan ditangani pihak BNN.
Pada 5 Oktober, setelah menggelar pertemuan dengan beberapa pimpinan lembaga tinggi negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono resmi memberhentikan Akil Mochtar dari posisi Ketua Mahkamah Konstitusi.
Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi menyatakan, Akil terbukti menerima
suap sebagaimana dakwaan pertama, yaitu terkait penanganan sengketa
Pilkada Kabupaten Gunung Mas (Rp 3 miliar), Kalimantan Tengah (Rp 3
miliar), Pilkada Lebak di Banten (Rp 1 miliar), Pilkada Empat Lawang (Rp
10 miliar dan 500.000 dollar AS), dan Pilkada Kota Palembang (sekitar
Rp 3 miliar).
Pada perkara ini, Akil disangka melanggar pasal 3 dan atau pasal 4 UU
nomor 8/2010 tentang TPPU dan pasal 3 atau pasal 6 ayat 1 UU nomor 15
tahun 2002 sebagaimana diubah dengan UU nomor 25 tahun 2003 juncto pasal
55 ayat 1 ke-1 jo pasal 65 KUHPidana.
Soal pencucian uang ini juga sudah disebutkan Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso. Akil
Mochtar diketahui sudah melakukan transaksi mencurigakan dalam dugaan
tindak pidana pencucian uang sejak 2010. Namun, baru pada 2012 PPATK
melaporkannya ke KPK.
Hakim juga menyatakan bahwa Akil terbukti menerima
suap sebagaimana dakwaan kedua, yaitu terkait sengketa Pilkada Kabupaten
Buton (Rp 1 miliar), Kabupaten Pulau Morotai (Rp 2,989 miliar),
Kabupaten Tapanuli Tengah (Rp 1,8 miliar), dan menerima janji pemberian
terkait keberatan hasil Pilkada Provinsi Jawa Timur (Rp 10 miliar).
Akil
juga terbukti dalam dakwaan ketiga, yaitu menerima Rp 125 juta dari
Wakil Gubernur Papua periode tahun 2006-2011, Alex Hesegem. Pemberian
uang itu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat,
Kabupaten Boven Digoel, Kota Jayapura, dan Kabupaten Nduga.
Sejumlah
kepala daerah dan juga pihak swasta turut terseret dalam pusaran kasus
Akil. Sebut saja, Gubernur Banten Atut Chosiyah dan adiknya, Tubagus
Chaeri Wardana alias Wawan. Keduanya terbukti menyuap Akil terkait
sengketa Pilkada Lebak. Kini keduanya telah divonis penjara, empat tahun
untuk Atut dan lima tahun untuk Wawan.
Berikut kasus sengketa
Pilkada di MK yang dijadikan "proyek" oleh Akil, yang tengah disidik KPK
mau pun yang masih "hangat" di pengadilan Tipikor:
1. Sengketa Pilkada Lebak
Jatuhnya
vonis terhadap Gubernur Banten Atut Chosiyah dan Adiknya, Tubagus
Chaeri Wardana alias Wawan tidak lantas membuat kasus sengketa Pilkada
Lebak di MK ditutup. KPK mengembangkan penyidikan terhadap kasus ini
sehingga menyeret mantan kandidat Pilkada Lebak 2013, yaitu Amir Hamzah
dan Kasmin sebagai tersangka.
Amir dan Kasmin diduga bersama-sama
Atut dan Wawan menyuap Akil untuk memengaruhinya dalam memutus
permohonan keberatan hasil Pilkada Lebak yang diajukan pasangan
tersebut. Dalam Pilkada Lebak, Amir-Kasmin kalah suara dengan
pesaingnya, pasangan Iti Oktavia Jayabaya-Ade Sumardi. Atas kekalahan
itu, Amir mengajukan keberatan hasil Pilkada Lebak ke MK. Adapun Susi
Tur Andayani merupakan kuasa hukum Amir-Kasmin.
2. Sengketa Pilkada Tapanuli Tengah
KPK
menetapkan Gubernur Tapanuli Tengah Bonaran Situmeang sebagai tersangka
pada 19 Agustus lalu. Dalam amar putusan majelis hakim Pengadilan
Tipikor, Akil terbukti menerima suap terkait dengan Pilkada Tapanuli
Tengah sebesar Rp 1,8 miliar. Diduga, uang yang berasal dari Bonaran itu
disetorkan ke rekening perusahaan istrinya, CV Ratu Samagat, dengan
slip setoran ditulis "angkutan batu bara".
Pemberian uang diduga
untuk mengamankan posisi Bonaran yang digugat di MK setelah dinyatakan
menang oleh KPUD Tapanuli Tengah. Pilkada Kabupaten Tapanuli Tengah
dimenangi oleh pasangan Raja Bonaran dan Sukran Jamilan Tanjung. Namun,
keputusan KPUD tersebut digugat oleh pasangan lawan.
Selanjutnya,
pada 22 Juni 2011, permohonan keberatan hasil Pilkada Tapanuli Tengah
ditolak sehingga Bonaran dan Sukran tetap sah sebagai pasangan bupati
dan wakil bupati terpilih. Meski demikian, Akil sebenarnya tidak
termasuk dalam susunan hakim panel. Panel untuk sengketa pilkada saat
itu adalah Achmad Sodiki (ketua), Harjono, dan Ahmad Fadlil Sumadi.
3. Sengketa Pilkada Palembang
Wali
Kota non-aktif Palembang Romi Herton dan istrinya, Masyito, didakwa
secara bersama-sama menyuap Akil sebesar Rp 14,145 miliar. Romi dan
asangan kandidatnya, Harno Joyo, mengajukan gugatan terhadap hasil
Pilkada Palembang dan meminta l Berita Acara Rekapitulasi Hasil
Penghitungan Suara Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palembang
dibatalkan. Hasil Pilkada Palembang menyatakan bahwa pasangan Romi-Harno
kalah suara dari pasangan Sarimuda-Nelly Rasdania dengan selisih 8
suara.
Dalam sidang putusan perkara sengketa Pilkada Palembang
yang digelar 20 Mei 2013, majelis hakim yang diketuai Akil mengabulkan
permohonan Romi untuk membatalkan Berita Acara Rekapitulasi Hasil
Penghitungan Suara Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palembang.
Putusan tersebut membatalkan unggulnya pasangan Sarimuda-Nelly Rasdania
dan menyatakan Romi-Anwar memenangkan Pilkada Palembang.
Keterangan Tidak Benar dalam Sidang Akil
Selain
kasus suap dan pencucian uang, orang-orang yang terlibat dalam pusaran
korupsi sengketa Pilkada Akil juga berusaha menutupi kesalahan sejumlah
pihak dengan memberi keterangan tidak benar dalam persidangan. Hal
tersebut terjadi dalam kasus suap penanganan sengketa Pilkada Palembang.
Selain menyuap Akil, Romi dan Masyito pun disebut memberi
keterangan palsu dalan persidangan. Bahkan, orang dekat Akil bernama
Muhtar Ependy dianggap memengaruhi saksi di persidangan dan mengarahkan
saksi untuk memberi keterangan seperti yang diperintahkan.
1. Wali Kota Palembang Romi Herton dan istrinya, Masyito
Wali
Kota nonaktif Palembang Romi Herton dan istrinya, Masyito, didakwa
memberikan keterangan palsu dalam sidang Akil pada 27 Maret 2014,
terkait perkara tindak pidana korupsi terkait sengketa Pilkada di MK dan
tindak pencucian uang.
Orang dekat Akil yang bernama Muhtar
Ependy berperan mengarahkan keterangan Romi dan Masyito selaku saksi
untuk mengaburkan fakta di persidangan. Muhtar menyuruh keduanya untuk
mengaku tidak mengenal Muhtar dan tak pernah menyerahkan sejumlah uang
kepada Akil melalui Muhtar.
Padahal, keterangan saksi lainnya di
sidang Akil dan sejumlah alat bukti memperkuat fakta persidangan bahwa
Romi dan Masyito menyuap Akil melalui Muhtar.
Romi dan Masyito
juga dipaksa mengaku tidak pernah memesan atribut pilkada di PT Promic
Internasional milik Muhtar. Padahal, keduanya memesan atribut Pilkada di
PT Promic Internasional dengan bukti tagihan kepada Romi serta barang
bukti berupa produk yang dipesan Romi dan Masyito.
2. Pengusaha bernama Muhtar Ependy, teman dekat Akil
Muhtar
Ependy, wirausahawan yang merupakan orang dekat Akil didakwa secara
sengaja merintangi proses pemeriksaan di pengadilan terhadap saksi dalam
perkara korupsi. Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi
menyatakan, Muhtar memengaruhi keterangan sejumlah saksi dalam
persidangan Akil.
Dalam surat dakwaan, Muhtar disebut memengaruhi
Romi dan Masyito, yang dihadirkan dalam sidang Akil. Muhtar meminta
keduanya untuk bersaksi bahwa tidak mengenal Muhtar dan tidak pernah
bersama-sama datang ke Bank Kalbar cabang Jakarta untuk menyerahkan
sejumlah uang.
Muhtar juga memengaruhi supirnya yang bernama
Srino agar tidak mengakui pernah mengantar Muhtar ke rumah Akil di
kawasan Pancoran untuk menyerahkan sejumlah uang.
Padahal,
berdasarkan keterangan saksi lainnya dari Bank Kalbar Cabang Jakarta
yaitu Iwan Sutaryadi, Rika Fatmawati, dan Risna Hasrilianti, dinyatakan
bahwa Srino pernah mengantar Muhtar ke bank tersebut untuk mengambil
uang tunai senilai Rp 3 miliar dalam bentuk dollar Amerika untuk diantar
ke rumah Akil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar