Senin, 11 Januari 2016

Korupsi ECW Neloe , Rokhmin Danuri , Said Agil Husin Al-Munawar

A. Eduardus Cornelis William Neloe

 

Eduardus Cornelis William Neloe (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 7 November 1944; umur 71 tahun) adalah seorang bankir Indonesia.

Lulusan Jurusan Manajemen Bisnis Fakultas Ekonomi di Universitas Krisnadwipayana (1968), Neloe kemudian menghabiskan sekitar 30 tahun berkarier di Bank Dagang Negara. Di bank tersebut, ia terakhir menjadi direktur (1991-1998). Dari Mei 2000 hingga Mei 2005 ia menjabat sebagai Direktur Utama Bank Mandiri.

Pada 2005 ia ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi Bank Mandiri yang merugikan negara Rp 160 miliar. Ia kemudian dibebaskan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Februari 2006 karena ditemukan tidak bersalah. Namun, dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) dalam rapat terbuka 13 September 2007, menjatuhkan hukuman kepadanya serta Direktur Risk Management, I Wayan Pugeg, dan Direktur Corporate Banking M. Sholeh Tasripan masing-masing 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 

 

Neloe merupakan sosok yang kontroversial. pada 2005, dia ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi Bank Mandiri yang merugikan negara Rp160 miliar. Dia kemudian dibebaskan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Februari 2006 karena ditemukan tidak bersalah.

Namun, dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) dalam rapat terbuka 13 September 2007, menjatuhkan hukuman kepadanya serta Direktur Risk Management, I Wayan Pugeg, dan Direktur Corporate Banking M.Sholeh Tasripan masing-masing 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan.

Di Bank Mandiri, Neloe menggantikan direktur utama yang pertama, Robby Djohan. Di mana pada Mei 2000, posisi Djohan digantikan ECW Neloe.

Neloe menjabat selama lima tahun, sebelum digantikan Agus Martowardojo sebagai Dirut sejak Mei 2005.

 

Di tengah gencarnya upaya memberantas korupsi, trio mantan direksi Bank Mandiri divonis bebas. Majelis hakim yang menyidangkannya kemarin menilai, mereka tak terbukti melakukan korupsi Rp 160 miliar seperti yang dituduhkan jaksa. Tadi malam, mereka dikeluarkan dari tahanan.

Putusan yang tak terduga tersebut langsung mengundang reaksi. Jaksa Agung Abdul Rachman Saleh, JAM Pidsus Hendarman Supandji, dan Komisi III DPR menyesalkan vonis tersebut. Bahkan, dari Makassar, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, putusan itu akan menjadi wacana besar. Untuk itu, transparansi putusan harus dibuka selebar-lebarnya.

Dalam sidang di PN Jakarta Selatan kemarin, majelis hakim yang diketuai Gatot Suharnoto mengambil putusan tersebut karena unsur merugikan negara tidak terbukti. Para terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan (primer, subsider, lebih subsider, dan lebih subsider lagi). Dengan begitu, mereka harus dikeluarkan dari tahanan yang dijalani sejak 17 Mei 2005.

Majelis hakim juga memerintahkan jaksa memulihkan hak dan martabat para terdakwa. Serta, mengembalikan sejumlah aset berupa tanah dan bangunan milik terdakwa yang disita kejaksaan.

Sebelumnya, mantan Dirut Bank Mandiri E.C.W. Neloe, mantan Direktur Risk Management I Wayan Pugeg, dan mantan Direktur Corporate Banking M. Sholeh Tasripan dituntut hukuman 20 tahun dan denda Rp 1 miliar. Mereka dianggap melakukan korupsi bersama-sama dalam kebijakan pemberian kredit Rp 160 miliar kepada PT Cipta Graha Nusantara (CGN).

Koordinator Jaksa Penuntut Umum Baringin Sianturi mendakwa Neloe dkk melanggar pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke (1) dan pasal 64 KUHP.

Majelis hakim menilai, unsur dakwaan pasal 2 UU 31/1999, yaitu barang siapa melakukan perbuatan melawan hukum, memperkaya diri atau orang lain atau korporasi, telah terpenuhi. Namun, unsur pasal 18 tentang adanya kerugian negara tidak terpenuhi.

Hakim sependapat dengan saksi ahli pakar hukum pidana Andi Hamzah yang menerangkan kerugian negara terjadi bila batas pembayaran telah jatuh tempo. Sementara itu, kredit Bank Mandiri belum jatuh tempo.

Tentu saja, putusan bebas itu disambut sukacita para terdakwa dan keluarganya. Tepuk tangan pun bergemuruh. Sebagian keluarga terdakwa tampak menangis haru. Majelis hakim berkali-kali meminta pengunjung tenang.

Sejak sidang dimulai pukul 10.30 hingga 11.45, Neloe terlihat tenang. Namun, dua bola mata Pugeg dan Tasripan terlihat berkaca-kaca. Begitu dinyatakan bebas, Tasripan langsung sujud syukur.

Begitu sidang ditutup, ketiga terdakwa disambut kerabat dan kolega. Terjadilah peluk cium yang cukup lama. Pugeg yang dipeluk keluarganya tidak bisa menahan haru. Dia menangis.

Ketika digiring keluar ruang sidang untuk dibawa ke ruangan lain, Neloe mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi dengan senyum lebar. Wartawan kesulitan mendapatkan komentar Neloe yang kemarin mengenakan setelan kemeja lengan panjang dan berdasi.

Dalam sidang sebelumnya, Neloe dkk menolak dikatakan melanggar prinsip kehati-hatian. Sebab, hingga Desember 2005, PT CGN telah membayar provisi, bunga, dan pokok sebesar Rp 58 miliar. Utang tersebut berstatus lancar dan baru akan jatuh tempo September 2007.

Namun, jaksa menyatakan, langkah direksi Bank Mandiri menyetujui pengucuran kredit ke PT CGN dianggap melawan hukum. Sebab, kebijakan tersebut tidak didahului studi kelayakan secara hati-hati, terutama mengenai modal PT CGN yang hanya tercatat Rp 600 juta.

Proposal kredit itu diajukan Dirut PT CGN Edyson untuk membeli hak tagih (cessie) PT Tahta Medan yang dilelang BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Jaksa menyebutkan, PT CGN tidak memenuhi kewajiban dan meminta penjadwalan kembali (rescheduling) pada September 2007.

Karena hakim memutus bebas, Jaksa Baringin terlihat kecewa. Dia mempertimbangkan untuk mengajukan kasasi kepada MA. Kami akan berpikir untuk mengajukan kasasi, tegasnya.

Sementara jaksa kecewa, Neloe terus memperlihatkan kegembiraannya. Ditemui seusai sidang, dia menyatakan, putusan majelis hakim tersebut adil. Sebab, sejak awal dirinya merasa tidak melakukan korupsi seperti yang didakwakan jaksa. Pada hari ini, kami dapat melihat dan membuktikan bahwa keadilan masih berlaku di sini (PN Jakarta Selatan). Sejak awal saya tidak korupsi atau memperkarakan orang lain, ujarnya.

Dia menyatakan, putusan majelis hakim sesuai pesan Wapres Jusuf Kalla bahwa yang harus diadili adalah penyelewengan, bukan kebijakan. Kalau kebijakan diadili, hal itu bisa membuka peluang adanya kerugian baru bagi negara.

 

B.  Rokhmin Dahuri

 

Prof. Dr.Ir. Rokhmin Dahuri, MS. (lahir di Kota Bogor, Jawa Barat, 16 Februari 1963; umur 52 tahun adalah Menteri Kelautan dan Perikanan pada Kabinet Gotong Royong. Ia meraih gelar sarjana pada tahun 1982 dari Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor dan gelar doktor dari School for Resources and Environmental Studies Dalhousie University, Halifax, Nova Scotia, Kanada pada tahun 1991.

Rokhmin Dahuri Ditahan; Tersangkut Pungutan Tidak Sah

Seorang lagi menteri dalam Kabinet Gotong Royong yang dipimpin Presiden Megawati Soekarnoputri terjerat kasus korupsi. Kamis (30/11) malam, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri ditahan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi di Rutan Mabes Polri.

Sebelumnya, mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Theo F Toemion juga dijerat kasus korupsi. Perkaranya sudah disidangkan. Sementara mantan Menteri Agama Said Agil Husin Al Munawar dijerat Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perkaranya juga sudah disidangkan.

Rokhmin ditahan karena tersangkut pungutan tidak sah selama periode kepemimpinannya, 2002-2004. Dana tidak sah yang dikumpulkan di dua rekening Departemen Kelautan dan Perikanan total berjumlah Rp 31 miliar, yaitu Rp 12 miliar yang dipungut dari pihak internal dan Rp 19,7 miliar dari pihak eksternal.

Rokhmin saat keluar ruang pemeriksaan pukul 20.30 membantah memberikan perintah kepada mantan Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan Andien H Taryoto. Ia membantah bahwa dana yang tidak sah itu digunakan untuk orasi ilmiah dan untuk meraih gelar doktornya. Saya tidak merasa bersalah karena saya melakukan yang terbaik, ujar Rokhmin sambil berjalan ke mobil tahanan yang diparkir di teras Gedung KPK, Jakarta.

Dalam pesan singkatnya yang dikirimkan ke Kompas, Rokhmin menegaskan dirinya tidak korupsi. Semua dana nonbudgeter untuk nelayan, pembudidayaan ikan, dan masyarakat pesisir. Dana terkumpul secara sukarela. Tak ada kebijakan atau instruksi dari saya, katanya.

Kuasa hukum Rokhmin, Herman Kadir, mengatakan, sama sekali tidak ada perintah lisan dari Rokhmin. Memang ada pembukuan yang dibuat sekjen soal dana nonbudgeter itu. Ada 3.000 bukti tanda terima, tetapi tidak ada untuk kepentingan dirinya, kata Herman yang juga membantah bahwa dana tersebut digunakan untuk meraih gelar doktor Rokhmin.

Tentang aliran dana dari pengusaha Tomy Winata ke Rokhmin, Herman mengatakan Tomy Winata juga sudah membantah. Namun, saat dicecar kembali soal aliran dana Tomy Winata, Herman menjawab bahwa itu urusan sekjen. Dia mengatakan sekjen yang tahu, sementara Rokhmin sama sekali tidak tahu.

Ketika wartawan kembali mencecar soal peruntukan dana dari Tomy Winata kepada Rokhmin, Herman mengatakan, Kalau ada dana-dana, misalnya orang yang mengajukan proposal-proposal untuk kegiatan ini-itu. Dia hanya dapat laporan dari sekjen bahwa ada dana nonbudgeter sekian-sekian.

Wartawan kembali menegaskan apakah Rokhmin mengetahui asal dana-dana tersebut, termasuk dari Tomy Winata, Herman menjawab, Yah, memang tahu. Dia pasti tahu dana nonbudgeter, pasti tahu dia.

Herman mengatakan, tuduhan kepada kliennya bukan pungutan dana tidak sah, tetapi diduga menerima gratifikasi. Jadi ada bantuan dana gratifikasi. Harusnya kena pasal itu, itu masih penuh tafsiran, ucapnya.

Keterangan KPK
Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean, yang didampingi Wakil Ketua KPK Erry Rijana Hardjapamekas, Direktur Penyelidikan KPK Iswan Elmy, dan Direktur Penindakan KPK Ade Rahardja, menjelaskan kasus Rokhmin terkait dengan perkara tersangka sebelumnya, Andien H Taryoto, mantan Sekjen Departemen Kelautan dan Perikanan.

Rokhmin diduga melanggar Pasal 12F Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 karena pungutan-pungutan yang tak boleh dilakukan. Mengenai dana dari pengusaha lain di samping Tomy Winata, Tumpak menjawab, penyidik masih akan mempelajari rekening-rekening tersebut.

Saat ditanyakan mengenai permintaan kuasa hukum Rokhmin yang meminta Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numbery juga ditahan karena diduga ikut menikmati dana tidak sah tersebut, Tumpak menjawab, Kami akan periksa sampai ke situ juga. Nanti kita lihat.

KPK telah menyita uang Rp 1,1 miliar. Kami akan mencari lagi, ujar Tumpak.

Salahi aturan

Freddy mengakui, saat dia mengetahui adanya pengumpulan dana rekonstruksi sebesar 1 persen dari dana yang disalurkan ke dinas di daerah, pihaknya sudah meminta agar pengumpulan dana itu dihentikan. Pasalnya, hal itu menyalahi ketentuan. Namun, karena dana hasil pengumpulan tersebut telanjur dikumpulkan, sebagian digunakan untuk kepentingan departemennya.

Dulu memang ada imbauan untuk menghimpun 1 persen itu. Memang, itu diminta secara sukarela. Akan tetapi, waktu saya menjadi menteri, saya bilang itu tidak boleh karena menyalahi aturan. Namun, karena dana itu sudah terkumpul dan akumulasinya cukup besar, saya minta dipakai untuk kepentingan departemen, ujar Freddy di Istana Wakil Presiden, Jakarta.

Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan (Fraksi PDI-P, Sumatera Utara II) menangkap adanya upaya sistematis untuk menjerat mantan-mantan menteri pada era Megawati. Pemberantasan korupsi tampaknya sudah menjadi alat politik, ucapnya.  

 

C. Said Agil Husin Al-Munawar

 

Prof. Dr. Haji Said Agil Husin Al Munawar, MA (lahir di Palembang, Sumatera Selatan, 26 Januari 1954; umur 61 tahun) adalah seorang pengajar dan mantan Menteri Agama Indonesia. Ia menjabat sebagai Menteri Agama pada Kabinet Gotong Royong (2001-2004). Sekarang ia adalah dosen di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

 

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis hukuman 5 tahun penjara subsider 3 bulan kurungan, terhadap terdakwa mantan Menteri agama Said Agil Husin Al-Munawar dalam kasus korupsi Dana Abadi Umat. Terdakwa juga harus membayar denda sebesar Rp 200 juta, serta membayar uang pengganti sebesar 2 milyar rupiah. Demikian vonis yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Cicut Sutiarto dalam persidangan di Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (7/2).

"Jika uang pengganti tidak dibayar dalam waktu 1 bulan, sesudah putusan perkara. Maka harta benda terdakwa akan disita dan dilelang untuk melunasi uang pengganti, jika terdakwa tidak mempunyai uang untuk membayarnya, maka akan diganti dengan pidana 1 tahun, " jelasnya.

Menurutnya, terdakwa telah melanggar peraturan perundang-undangan pasal 2 ayat 1 jo 18 ayat 1 huruf b UU No.31 tentang pemberantasan korupsi, serta pasal 55 ayat 1 KUHAP jo pasal 64 ayat 1 KUHP. Dalam persidangan sebelumnya, lanjut Cicut, mantan Menag dituntut hukuman pidana penjara 10 tahun dan denda 600 juta, karena dinilai mengetahui secara sah aliran Dana Abadi Umat.

Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan hal-hal yang memberatkan terdakwa antara lain, akibat korupsi yang dilakukan oleh terdakwa selain merugikan negara juga menghambat pembangunan nasional, terdakwa merupakan tokoh agama Islam yang seharusnya bisa berhati-hati dalam menjalankan amanat mengelola DAU dan BPIH, yang langsung bersinggungan dengan kepentingan umat Islam.

Menanggapi putusan Majelis Hakim, mantan Menteri Agama Said Agil Husein Al-Munawar yang didampingi kuasa hukumnya M. Assegaff menyatakan, tetap menolak putusan majelis hakim dan berencana akan mengajukan banding, sedangkan Jaksa Penuntut Umum yang dipimpin oleh Ranu Miharja mengajukan pikir-pikir terhadap vonis majelis Hakim. Usai vonis dibacakan, Isteri mantan Menteri Agama Siti Fatimah dan 2 orang putrinya menangis histeris sambil meninggalkan ruang sidang.

Selain menggelar sidang kasus korupsi DAU dengan terdakwa mantan Menteri Agama, hari ini Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga akan menggelar sidang kasus korupsi DAU dengan terdakwa Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Ibadah Haji Taufik Kamil dengan agenda persidangan pembacaan vonis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar