A. Eduardus Cornelis William Neloe

Lulusan Jurusan Manajemen Bisnis Fakultas Ekonomi di Universitas Krisnadwipayana (1968), Neloe kemudian menghabiskan sekitar 30 tahun berkarier di Bank Dagang Negara. Di bank tersebut, ia terakhir menjadi direktur (1991-1998). Dari Mei 2000 hingga Mei 2005 ia menjabat sebagai Direktur Utama Bank Mandiri.
Pada 2005 ia ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi Bank Mandiri
yang merugikan negara Rp 160 miliar. Ia kemudian dibebaskan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Februari 2006 karena ditemukan tidak bersalah. Namun, dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) dalam rapat terbuka 13 September 2007, menjatuhkan hukuman kepadanya serta Direktur Risk Management, I Wayan Pugeg, dan Direktur Corporate Banking M. Sholeh Tasripan masing-masing 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider
Neloe merupakan sosok yang kontroversial. pada 2005, dia ditetapkan
sebagai tersangka kasus korupsi Bank Mandiri yang merugikan negara Rp160
miliar. Dia kemudian dibebaskan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada
Februari 2006 karena ditemukan tidak bersalah.
Namun, dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) dalam rapat terbuka
13 September 2007, menjatuhkan hukuman kepadanya serta Direktur Risk
Management, I Wayan Pugeg, dan Direktur Corporate Banking M.Sholeh
Tasripan masing-masing 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6
bulan.
Di Bank Mandiri, Neloe menggantikan direktur utama yang pertama,
Robby Djohan. Di mana pada Mei 2000, posisi Djohan digantikan ECW Neloe.
Neloe menjabat selama lima tahun, sebelum digantikan Agus Martowardojo sebagai Dirut sejak Mei 2005.
Di tengah gencarnya upaya memberantas korupsi, trio mantan direksi
Bank Mandiri divonis bebas. Majelis hakim yang menyidangkannya kemarin
menilai, mereka tak terbukti melakukan korupsi Rp 160 miliar seperti
yang dituduhkan jaksa. Tadi malam, mereka dikeluarkan dari tahanan.
Putusan yang tak terduga tersebut langsung mengundang reaksi. Jaksa
Agung Abdul Rachman Saleh, JAM Pidsus Hendarman Supandji, dan Komisi III
DPR menyesalkan vonis tersebut. Bahkan, dari Makassar, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono mengatakan, putusan itu akan menjadi wacana besar.
Untuk itu, transparansi putusan harus dibuka selebar-lebarnya.
Dalam sidang di PN Jakarta Selatan kemarin, majelis hakim yang
diketuai Gatot Suharnoto mengambil putusan tersebut karena unsur
merugikan negara tidak terbukti. Para terdakwa dibebaskan dari segala
dakwaan (primer, subsider, lebih subsider, dan lebih subsider lagi).
Dengan begitu, mereka harus dikeluarkan dari tahanan yang dijalani sejak
17 Mei 2005.
Majelis hakim juga memerintahkan jaksa memulihkan hak dan martabat
para terdakwa. Serta, mengembalikan sejumlah aset berupa tanah dan
bangunan milik terdakwa yang disita kejaksaan.
Sebelumnya, mantan Dirut Bank Mandiri E.C.W. Neloe, mantan Direktur
Risk Management I Wayan Pugeg, dan mantan Direktur Corporate Banking M.
Sholeh Tasripan dituntut hukuman 20 tahun dan denda Rp 1 miliar. Mereka
dianggap melakukan korupsi bersama-sama dalam kebijakan pemberian kredit
Rp 160 miliar kepada PT Cipta Graha Nusantara (CGN).
Koordinator Jaksa Penuntut Umum Baringin Sianturi mendakwa Neloe dkk
melanggar pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke (1) dan pasal 64 KUHP.
Majelis hakim menilai, unsur dakwaan pasal 2 UU 31/1999, yaitu barang
siapa melakukan perbuatan melawan hukum, memperkaya diri atau orang
lain atau korporasi, telah terpenuhi. Namun, unsur pasal 18 tentang
adanya kerugian negara tidak terpenuhi.
Hakim sependapat dengan saksi ahli pakar hukum pidana Andi Hamzah
yang menerangkan kerugian negara terjadi bila batas pembayaran telah
jatuh tempo. Sementara itu, kredit Bank Mandiri belum jatuh tempo.
Tentu saja, putusan bebas itu disambut sukacita para terdakwa dan
keluarganya. Tepuk tangan pun bergemuruh. Sebagian keluarga terdakwa
tampak menangis haru. Majelis hakim berkali-kali meminta pengunjung
tenang.
Sejak sidang dimulai pukul 10.30 hingga 11.45, Neloe terlihat tenang.
Namun, dua bola mata Pugeg dan Tasripan terlihat berkaca-kaca. Begitu
dinyatakan bebas, Tasripan langsung sujud syukur.
Begitu sidang ditutup, ketiga terdakwa disambut kerabat dan kolega.
Terjadilah peluk cium yang cukup lama. Pugeg yang dipeluk keluarganya
tidak bisa menahan haru. Dia menangis.
Ketika digiring keluar ruang sidang untuk dibawa ke ruangan lain,
Neloe mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi dengan senyum lebar.
Wartawan kesulitan mendapatkan komentar Neloe yang kemarin mengenakan
setelan kemeja lengan panjang dan berdasi.
Dalam sidang sebelumnya, Neloe dkk menolak dikatakan melanggar
prinsip kehati-hatian. Sebab, hingga Desember 2005, PT CGN telah
membayar provisi, bunga, dan pokok sebesar Rp 58 miliar. Utang tersebut
berstatus lancar dan baru akan jatuh tempo September 2007.
Namun, jaksa menyatakan, langkah direksi Bank Mandiri menyetujui
pengucuran kredit ke PT CGN dianggap melawan hukum. Sebab, kebijakan
tersebut tidak didahului studi kelayakan secara hati-hati, terutama
mengenai modal PT CGN yang hanya tercatat Rp 600 juta.
Proposal kredit itu diajukan Dirut PT CGN Edyson untuk membeli hak
tagih (cessie) PT Tahta Medan yang dilelang BPPN (Badan Penyehatan
Perbankan Nasional). Jaksa menyebutkan, PT CGN tidak memenuhi kewajiban
dan meminta penjadwalan kembali (rescheduling) pada September 2007.
Karena hakim memutus bebas, Jaksa Baringin terlihat kecewa. Dia
mempertimbangkan untuk mengajukan kasasi kepada MA. Kami akan berpikir
untuk mengajukan kasasi, tegasnya.
Sementara jaksa kecewa, Neloe terus memperlihatkan kegembiraannya.
Ditemui seusai sidang, dia menyatakan, putusan majelis hakim tersebut
adil. Sebab, sejak awal dirinya merasa tidak melakukan korupsi seperti
yang didakwakan jaksa. Pada hari ini, kami dapat melihat dan membuktikan
bahwa keadilan masih berlaku di sini (PN Jakarta Selatan). Sejak awal
saya tidak korupsi atau memperkarakan orang lain, ujarnya.
Dia menyatakan, putusan majelis hakim sesuai pesan Wapres Jusuf Kalla
bahwa yang harus diadili adalah penyelewengan, bukan kebijakan. Kalau
kebijakan diadili, hal itu bisa membuka peluang adanya kerugian baru
bagi negara.
B. Rokhmin Dahuri

Rokhmin Dahuri Ditahan; Tersangkut Pungutan Tidak Sah
Seorang
lagi menteri dalam Kabinet Gotong Royong yang dipimpin Presiden
Megawati Soekarnoputri terjerat kasus korupsi. Kamis (30/11) malam,
mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri ditahan penyidik
Komisi Pemberantasan Korupsi di Rutan Mabes Polri.
Sebelumnya, mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
Theo F Toemion juga dijerat kasus korupsi. Perkaranya sudah disidangkan.
Sementara mantan Menteri Agama Said Agil Husin Al Munawar dijerat Tim
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perkaranya juga sudah disidangkan.
Rokhmin ditahan karena tersangkut pungutan tidak sah selama periode
kepemimpinannya, 2002-2004. Dana tidak sah yang dikumpulkan di dua
rekening Departemen Kelautan dan Perikanan total berjumlah Rp 31 miliar,
yaitu Rp 12 miliar yang dipungut dari pihak internal dan Rp 19,7 miliar
dari pihak eksternal.
Rokhmin saat keluar ruang pemeriksaan pukul 20.30 membantah
memberikan perintah kepada mantan Sekretaris Jenderal Departemen
Kelautan dan Perikanan Andien H Taryoto. Ia membantah bahwa dana yang
tidak sah itu digunakan untuk orasi ilmiah dan untuk meraih gelar
doktornya. Saya tidak merasa bersalah karena saya melakukan yang
terbaik, ujar Rokhmin sambil berjalan ke mobil tahanan yang diparkir di
teras Gedung KPK, Jakarta.
Dalam pesan singkatnya yang dikirimkan ke Kompas, Rokhmin menegaskan
dirinya tidak korupsi. Semua dana nonbudgeter untuk nelayan,
pembudidayaan ikan, dan masyarakat pesisir. Dana terkumpul secara
sukarela. Tak ada kebijakan atau instruksi dari saya, katanya.
Kuasa hukum Rokhmin, Herman Kadir, mengatakan, sama sekali tidak ada
perintah lisan dari Rokhmin. Memang ada pembukuan yang dibuat sekjen
soal dana nonbudgeter itu. Ada 3.000 bukti tanda terima, tetapi tidak
ada untuk kepentingan dirinya, kata Herman yang juga membantah bahwa
dana tersebut digunakan untuk meraih gelar doktor Rokhmin.
Tentang aliran dana dari pengusaha Tomy Winata ke Rokhmin, Herman
mengatakan Tomy Winata juga sudah membantah. Namun, saat dicecar kembali
soal aliran dana Tomy Winata, Herman menjawab bahwa itu urusan sekjen.
Dia mengatakan sekjen yang tahu, sementara Rokhmin sama sekali tidak
tahu.
Ketika wartawan kembali mencecar soal peruntukan dana dari Tomy
Winata kepada Rokhmin, Herman mengatakan, Kalau ada dana-dana, misalnya
orang yang mengajukan proposal-proposal untuk kegiatan ini-itu. Dia
hanya dapat laporan dari sekjen bahwa ada dana nonbudgeter
sekian-sekian.
Wartawan kembali menegaskan apakah Rokhmin mengetahui asal dana-dana
tersebut, termasuk dari Tomy Winata, Herman menjawab, Yah, memang tahu.
Dia pasti tahu dana nonbudgeter, pasti tahu dia.
Herman mengatakan, tuduhan kepada kliennya bukan pungutan dana tidak
sah, tetapi diduga menerima gratifikasi. Jadi ada bantuan dana
gratifikasi. Harusnya kena pasal itu, itu masih penuh tafsiran, ucapnya.
Keterangan KPK
Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean, yang didampingi Wakil
Ketua KPK Erry Rijana Hardjapamekas, Direktur Penyelidikan KPK Iswan
Elmy, dan Direktur Penindakan KPK Ade Rahardja, menjelaskan kasus
Rokhmin terkait dengan perkara tersangka sebelumnya, Andien H Taryoto,
mantan Sekjen Departemen Kelautan dan Perikanan.
Rokhmin diduga melanggar Pasal 12F Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
karena pungutan-pungutan yang tak boleh dilakukan. Mengenai dana dari
pengusaha lain di samping Tomy Winata, Tumpak menjawab, penyidik masih
akan mempelajari rekening-rekening tersebut.
Saat ditanyakan mengenai permintaan kuasa hukum Rokhmin yang meminta
Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numbery juga ditahan karena diduga
ikut menikmati dana tidak sah tersebut, Tumpak menjawab, Kami akan
periksa sampai ke situ juga. Nanti kita lihat.
KPK telah menyita uang Rp 1,1 miliar. Kami akan mencari lagi, ujar Tumpak.
Salahi aturan
Freddy mengakui, saat dia mengetahui adanya pengumpulan dana
rekonstruksi sebesar 1 persen dari dana yang disalurkan ke dinas di
daerah, pihaknya sudah meminta agar pengumpulan dana itu dihentikan.
Pasalnya, hal itu menyalahi ketentuan. Namun, karena dana hasil
pengumpulan tersebut telanjur dikumpulkan, sebagian digunakan untuk
kepentingan departemennya.
Dulu memang ada imbauan untuk menghimpun 1 persen itu. Memang, itu
diminta secara sukarela. Akan tetapi, waktu saya menjadi menteri, saya
bilang itu tidak boleh karena menyalahi aturan. Namun, karena dana itu
sudah terkumpul dan akumulasinya cukup besar, saya minta dipakai untuk
kepentingan departemen, ujar Freddy di Istana Wakil Presiden, Jakarta.
Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan (Fraksi PDI-P, Sumatera Utara
II) menangkap adanya upaya sistematis untuk menjerat mantan-mantan
menteri pada era Megawati. Pemberantasan korupsi tampaknya sudah menjadi
alat politik, ucapnya.
C. Said Agil Husin Al-Munawar

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis
hukuman 5 tahun penjara subsider 3 bulan kurungan, terhadap terdakwa
mantan Menteri agama Said Agil Husin Al-Munawar dalam kasus korupsi Dana
Abadi Umat. Terdakwa juga harus membayar denda sebesar Rp 200 juta,
serta membayar uang pengganti sebesar 2 milyar rupiah. Demikian vonis
yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Cicut Sutiarto dalam persidangan di
Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (7/2).
"Jika uang pengganti tidak dibayar dalam waktu 1 bulan, sesudah
putusan perkara. Maka harta benda terdakwa akan disita dan dilelang
untuk melunasi uang pengganti, jika terdakwa tidak mempunyai uang untuk
membayarnya, maka akan diganti dengan pidana 1 tahun, " jelasnya.
Menurutnya, terdakwa telah melanggar peraturan perundang-undangan
pasal 2 ayat 1 jo 18 ayat 1 huruf b UU No.31 tentang pemberantasan
korupsi, serta pasal 55 ayat 1 KUHAP jo pasal 64 ayat 1 KUHP. Dalam
persidangan sebelumnya, lanjut Cicut, mantan Menag dituntut hukuman
pidana penjara 10 tahun dan denda 600 juta, karena dinilai mengetahui
secara sah aliran Dana Abadi Umat.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan hal-hal yang
memberatkan terdakwa antara lain, akibat korupsi yang dilakukan oleh
terdakwa selain merugikan negara juga menghambat pembangunan nasional,
terdakwa merupakan tokoh agama Islam yang seharusnya bisa berhati-hati
dalam menjalankan amanat mengelola DAU dan BPIH, yang langsung
bersinggungan dengan kepentingan umat Islam.
Menanggapi putusan Majelis Hakim, mantan Menteri Agama Said Agil
Husein Al-Munawar yang didampingi kuasa hukumnya M. Assegaff menyatakan,
tetap menolak putusan majelis hakim dan berencana akan mengajukan
banding, sedangkan Jaksa Penuntut Umum yang dipimpin oleh Ranu Miharja
mengajukan pikir-pikir terhadap vonis majelis Hakim. Usai vonis
dibacakan, Isteri mantan Menteri Agama Siti Fatimah dan 2 orang putrinya
menangis histeris sambil meninggalkan ruang sidang.
Selain menggelar sidang kasus korupsi DAU dengan terdakwa mantan
Menteri Agama, hari ini Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga akan
menggelar sidang kasus korupsi DAU dengan terdakwa Dirjen Bimas Islam
dan Penyelenggaraan Ibadah Haji Taufik Kamil dengan agenda persidangan
pembacaan vonis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar