Senin, 11 Januari 2016

SISMINBAKUM

Latar Belakang 

IMF menyarankan kepada Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra agar  mempermudah pemberian izin pendirian perusahaan untuk membangkitkan perekonomian setelah krisis. Waktu itu izin ini dikelola dengan manual, makan waktu lama. Karena pemerintah tak punya biaya, dalam rapat kabinet Presiden Abdurrahman Wahid memutuskan untuk mengundang swasta
Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Romli Atmasasmita meminta John Sarodja Saleh, ahli teknologi informasi, konon rekanan Departemen Hukum, untuk merencanakan sistem informasi pemberian izin notaris
Tersebut sebuah perusahaan bernama PT Sarana Rekatama Dinamika. Entah bagaimana ceritanya, PT Sarana ini dikenal oleh Romli.  Bisa jadi karena PT Sarana mengajukan pengesahan akta notaris ke Departemen Hukum. (Menurut Lembaran Berita Negara tentang akta pendirian perusahaan, pengesahan PT Sarana ditandatangani Dirjen Romli pada 24 Agustus 2000)
Romli memperkenalkan John Sarodja dengan Hartono, Bambang Tanoesoedibjo, Rukman Prawirasastra, dan Yohanes Waworuntu dari PT Bhakti Investama. John Sarodja diminta bekerja sama dengan PT Bhakti untuk membuat sistem komputerisasi tersebut
Tapi bukan PT Bhakti yang kemudian kerja sama dengan John Sarodja, melainkan PT Sarana. Pada tanggal ini Direktur Utama PT Sarana menandatangani perjanjian kerjasama dengan John Sarodja yang karena tak terkait dengan perusahaan mana pun meminta PT Visual Teknindo Utama memberikan kuasa direksi kepadanya. Isi perjanjian, PT Sarana memberikan biaya Rp 512 juta kepada PT Visual untuk pembuatan aplikasi, pembangunan jaringan, dan pengadaan perangkat keras
PT Sarana mengajukan permohonan sebagai pengelola dan pelaksana sistem informasi yang kemudian disebut Sisminbakum (sistem administrasi badan hukum) itu.
PT Sarana resmi bekerja sama dengan KPPDK (Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Kehakiman) membuat sistem tersebut. Tampaknya ini kelaziman di Departemen Hukum, bila ada kerjasama dengan swasta, departemen diwakili oleh KPPDK. (Catatan: nama departmen satu ini berubah-ubah; sampai 1999, Departemen Kehakiman; 1999-2001, Departemen Hukum dan Perundang-undangan; 2001-2004, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia; 2004-2009, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia; 2010, menjadi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia)

 KASASI MAHKAMAH AGUNG: SISMINBAKUM BUKAN KORUPSI"

Mahkamah Agung akhirnya mengabulkan permohonan kasasi terdakwa kasus Sisminbakum, Prof Romly Atmasasmita dengan aklamasi. Belum jelas benar apa pertimbangan hukumnya, dan apakah  Romly  dibebaskan dari dakwaan karena tidak terbukti melakukan tindak pidana (vrijspraak) atau “dilepaskan dari segala tuntutan hukum”  (ontslaag van allei rechtsbevolging). Saya baru dapat memastikannya, apabila saya telah membaca salinan putusan MA dengan utuh. Menurut pemberitaan media, Romly dinilai tidak mendapat keuntungan apapun dari proyek  Sisminbakum. Negara juga tidak mengalami kerugian apapun. Pelayanan publik dengan Sisminbakum berjalan baik dan “tidak ada sifat melawan hukum”, sehingga dia dilepaskan  dari tuntutan hukum. Demikian dikatakan Ketua Majelis Achmad Taufik kepada media di gedung Mahkamah Agung hari ini.

Putusan ini telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht). Dengan pertimbangan hukum seperti di atas, maka segala dakwaan Jaksa dari Kejaksaan Agung bahwa Sisminbakum adalah korupsi dan negara dirugikan Rp 420 milyar adalah omong kosong belaka. Romly didakwa melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan beberapa orang, termasuk Yusril Ihza Mahendra. Sedari awal, Sisminbakum adalah kasus yang sengaja dikasuskan dengan berbagai latar belakang motif. Ada masalah pribadi antara Romly dengan Jampidsus waktu itu, Dr Marwan Effendi. Ada motif politik untuk menghantam Yusril Ihza Mahendra. Ada pula motif  perkelahian bisnis yang melibatkan putri mantan Presiden Suharto, Mbak Tutut dengan Harry Tanoesoedibyo. Romly didakwa melakukan tindak pidana dari tahun 2000 sampai 2002. Johanes Woworuntu didakwa melakukan pidana berlanjut dari tahun 2000 sampai 5 November 2008. Selama periode ini ada tujuh orang yang pernah menjadi Menteri Kehakiman dan HAM. Namun hanya nama Yusril yang disebut dalam dakwaan. Kemudian dia dijadikan tersangka, sementara menteri yang lain tidak. Motif politik kasus ini terang-benderang.

Dengan dinyatakannya bahwa dalam kasus Sisminbakum tidak ada unsur kerugian negara dan tidak ada sifat melawan hukum, maka semua orang yang baik masih dalam proses perkara seperti Samsuddin M Sinaga, Zulkarnaen Yunus, maupun yang kini berstatus tersangka seperti Yusril Ihza Mahendra, Hartono Tanoesoedibyo dan Ali Amran Jannah, mestinya juga harus dibebaskan dan dihentikan penyidikannya. Putusan Romly ini dapat pula dijadikan novum bagi Johannes Woworuntu untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.

Yusril Daftar Uji Materi atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan ke MK


 Resmi Ajukan Uji Materi Penafsiran UU Kejaksaan 

Tantangan Jaksa Agung Hendarman Supandji untuk berdebat dengan mantan Menkeh dan HAM Yusril Ihza Mahendra di arena pengadilan bak gayung bersambut. Kemarin (6/7) Yusril mendaftarkan permohonan uji materi atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pasal 22 ayat (1) huruf d UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang mengatur masa jabatan Jaksa Agung dinyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sebelum dilakukannya legislative review yang berlaku prospektif ke depan. Artinya, masa jabatan Jaksa Agung dinyatakan konstitusional dengan tafsir berakhirnya masa jabatan Jaksa Agung berakhir bersamaan dengan masa jabatan Presiden yang mengangkatnya sesuai praktek ketatanegaraan di Indonesia.

Yusril berharap dirinya bisa berdebat dengan Hendarman dalam persidangan di MK. "Ente jual, ane beli (kamu jual, saya beli, Red)," kata Yusril di gedung MK. Istilah tersebut menggambarkan bagaimana tersangka kasus korupsi biaya akses Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) itu menerima tantangan berdebat Hendarman.

Menurut Yusril, yang diuji penafsirannya adalah pasal 19 sampai 22 UU Kejaksaan. Pasal-pasal itu berkaitan dengan mekanisme pengangkatan dan penghentian jaksa agung yang selama ini diperdebatkan sejumlah kalangan.

Pria yang juga menjabat ketua Dewan Syura Partai Bintang Bulan (PBB) itu menerangkan, konstitusionalitas pasal-pasal tersebut akan diuji dengan prinsip negara hukum dan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam pasal 1 dan pasal 28d ayat 1 UUD 1945.

Yusril yang mengaku sebagai tim penyusun UU tersebut beranggapan, asumsi saat menyusun UU itu adalah jaksa agung otomatis menjadi anggota kabinet. ''Itu kan sudah menjadi konvensi ketatanegaraan selama lebih dari 40 tahun," tutur Yusril. Jadi, dengan berakhirnya masa bakti kabinet, berakhir pula masa jabatan jaksa agung. Tapi, kenyataannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak memberhentikan Hendarman sebagai jaksa agung pada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Padahal, kabinet tersebut dibubarkan pada 20 Oktober 2009. Nah, saat SBY kembali menjadi presiden dan membentuk Kabinet Indonesia Bersatu jilid II (KIB II), tidak ada pengangkatan Hendarman secara resmi. Karena itu, Yusril menganggap jabatan Hendarman ilegal.

Berdasar pasal 22 UU Kejaksaan, jaksa agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena meninggal dunia, permintaan sendiri, sakit jasmani dan rohani terus-menerus, berakhir masa jabatannya, serta tidak lagi memenuhi salah satu syarat lagi sebagai jaksa agung. "Nah, yang jadi soal kan tidak disebutkan secara rinci berakhir masa jabatan itu seperti apa," kata suami Rika Tolentino Kato itu. Namun, kalau tidak dikaitkan dengan pembubaran KIB, lanjut Yusril, jaksa agung bisa menjabat seumur hidup. Penafsiran persoalan inilah yang diuji.

Yusril juga berharap SBY langsung menunjuk Hendarman sebagai kuasa hukumnya dalam persidangan ini. "Ya, biar nafsunya berdebat dengan saya tersalurkan. Di MK, saya maju sendiri tanpa kuasa hukum biar bisa ketemu dia (Hendarman),'' ucapnya.

Menyangkut panggilan kedua dari Kejagung untuk menjalani pemeriksaan sebagai tersangka kasus Sisminbakum, Yusril belum akan memenuhinya.

Secara terpisah, Kejagung siap menghadapi uji materi atas penafsiran UU Kejaksaan yang diajukan Yusril ke MK. "Silakan saja, itu hak yang bersangkutan. Kami siap menyikapinya," kata Kapuspenkum Kejagung Didiek Darmanto kemarin.

Di bagian lain, kasus Sisminbakum yang menyeret Yusril semakin berbuntut. Salah satu terpidana yang juga Dirut PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD), Yohanes Waworuntu, melaporkan Hary dan Hartono Tanoesoedibjo ke KPK atas dugaan penyalahgunaan fasilitas negara dari layanan Sisminbakum.

"Kedatangan kami kemari untuk mengajukan pengaduan terkait tindakan yang dilakukan pemilik PT SRD. Yakni, atas penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan kelompok usaha, yang merugikan keuangan negara lewat Sisminbakum," ujar Eggi Sudjana, kuasa hukum Yohanes, di gedung KPK kemarin (6/7).

Eggi menguraikan, terdapat beberapa bukti penyalahgunaan fasilitas layanan Sisminbakum yang dilakukan Hary dan Hartono. Di antaranya, menyalurkan biaya-biaya pengesahan badan hukum perseroan terbatas senilai Rp 378 miliar langsung ke rekening PT SRD. Padahal, menurut Perpu No 22/1997, aliran dana pengesahan badan hukum dalam layanan Sisminbakum lebih dulu masuk ke rekening negara sebagai pendapatan negara bukan pajak (PNBP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar