Minggu, 10 Januari 2016

KASUS MACICA MOCHTAR


Machica Mochtar (lahir di Sengkang, 20 Maret 1970; umur 45 tahun) merupakan seorang penyanyi dangdut berkebangsaan Indonesia yang dikenal pada era '80-an. Machica, kemudian menikah dengan Moerdiono pada 20 Desember 1993 dengan perkawinan secara siri (rahasia, tidak legal). Hasil perkawinan pelantun lagu Ilalang itu, dikaruniai anak laki-laki Mohammad Iqbal Ramadan, yang konon sejak berusia dua tahun tidak pernah berjumpa dengan ayahnya, akibat perceraiannya pada 1998.

 

Akhirnya, majelis Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan inkonstitusional bersyarat. Pasal ini diuji oleh artis dangdut Machica Mochtar. Dia mempersoalkan Pasal 43 ayat (1) yang mengatur bahwa status anak luar kawin hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.

Dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan dengan laki-laki yang dapat dibuktikan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.


“Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga pasal itu harus dibaca, ‘anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya’,” kata Ketua Majelis MK, Moh Mahfud MD saat membacakan putusan, Jum’at (17/2). 

Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpendapat tidak tepat dan tidak adil ketika hukum menetapkan bahwa anak yang lahir karena hubungan seksual di luar perkawinan (nikah sirih atau perzinahan, red) hanya memiliki hubungan sebagai ibunya. “Tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang menghamili dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak,” kata Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi.

Terlebih, ketidakadilan itu lantaran hukum meniadakan hak-hak anak terhadap bapaknya (biologis). Padahal, berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu (tes DNA). “Peristiwa kelahiran anak akibat hubungan seksual itu adalah hubungan hukum mengandung hak dan kewajiban timbal balik antara anak, ibu, dan bapak.”

Menurut Mahkamah hubungan anak dengan laki-laki sebagai bapaknya tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan bapaknya. Terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak, yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan itu.

“Anak itu tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayahnya sering mendapatkan perlakuan tidak adil dan  stigma di masyarakat. Karena itu, hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status anak yang dilahirkan dan hak-haknya, meski keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.”

Sementara Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati memiliki alasan berbeda (concurring opinion). Maria mengatakan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menutup kemungkinan bagi anak untuk memiliki hubungan keperdataan dengan ayah kandungnya. Hal ini resiko dari sebuah perkawinan yang tidak dicatatkan. Meski demikian tidak pada tempatnya jika anak harus ikut menanggung kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan kedua orang tuanya itu.

 

 Pada 2008, kasus ini sempat bergulir ke Pengadilan Agama Tangerang atas permohonan itsbat nikah dan pengesahan anak yang permohonannya tak dapat diterima. Meski pernikahannya dianggap sah karena rukun nikah terpenuhi, tetapi pengadilan agama tak berani menyatakan Iqbal anak yang sah karena terbentur dengan asas monogami itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar