KASUS MACICA MOCHTAR
Machica Mochtar (lahir di Sengkang, 20 Maret 1970; umur 45 tahun) merupakan seorang penyanyi dangdut berkebangsaan Indonesia yang dikenal pada era '80-an. Machica, kemudian menikah dengan Moerdiono pada 20 Desember 1993
dengan perkawinan secara siri (rahasia, tidak legal). Hasil perkawinan
pelantun lagu Ilalang itu, dikaruniai anak laki-laki Mohammad Iqbal
Ramadan, yang konon sejak berusia dua tahun tidak pernah berjumpa dengan
ayahnya, akibat perceraiannya pada 1998.
Akhirnya, majelis Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan inkonstitusional bersyarat. Pasal ini diuji oleh artis
dangdut Machica Mochtar. Dia mempersoalkan Pasal 43 ayat (1) yang
mengatur bahwa status anak luar kawin hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.
Dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945
sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan dengan laki-laki yang dapat
dibuktikan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain
ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
“Pasal 43
ayat (1) UU Perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga
pasal itu harus dibaca, ‘anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya’,” kata Ketua
Majelis MK, Moh Mahfud MD saat membacakan putusan, Jum’at (17/2).
Dalam
pertimbangannya, Mahkamah berpendapat tidak tepat dan tidak adil ketika
hukum menetapkan bahwa anak yang lahir karena hubungan seksual di luar
perkawinan (nikah sirih atau perzinahan, red) hanya memiliki hubungan
sebagai ibunya. “Tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan
laki-laki yang menghamili dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak,”
kata Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi.
Terlebih,
ketidakadilan itu lantaran hukum meniadakan hak-hak anak terhadap
bapaknya (biologis). Padahal, berdasarkan perkembangan teknologi yang
ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak
dari laki-laki tertentu (tes DNA). “Peristiwa kelahiran anak akibat
hubungan seksual itu adalah hubungan hukum mengandung hak dan kewajiban
timbal balik antara anak, ibu, dan bapak.”
Menurut
Mahkamah hubungan anak dengan laki-laki sebagai bapaknya tidak
semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, tetapi dapat juga
didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan
bapaknya. Terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak
yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak, yang
dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan itu.
“Anak itu
tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang
dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayahnya sering mendapatkan
perlakuan tidak adil dan stigma di masyarakat. Karena itu, hukum harus
memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status anak
yang dilahirkan dan hak-haknya, meski keabsahan perkawinannya masih
dipersengketakan.”
Sementara
Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati memiliki alasan berbeda
(concurring opinion). Maria mengatakan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan
menutup kemungkinan bagi anak untuk memiliki hubungan keperdataan dengan
ayah kandungnya. Hal ini resiko dari sebuah perkawinan yang tidak
dicatatkan. Meski demikian tidak pada tempatnya jika anak harus ikut
menanggung kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan kedua orang tuanya
itu.
Pada 2008,
kasus ini sempat bergulir ke Pengadilan Agama Tangerang atas
permohonan itsbat nikah dan pengesahan anak yang permohonannya tak dapat
diterima. Meski pernikahannya dianggap sah karena rukun nikah
terpenuhi, tetapi pengadilan agama tak berani menyatakan Iqbal anak yang
sah karena terbentur dengan asas monogami itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar